Istriku yang dari tadi menungguiku menyeruput kopi, secara mendadak melipat wajahnya. Seolah ia sedang mengisyaratkan kekecewaan karena telah menunggu lama. Tanpa membuatnya kecewa untuk kedua kali, aku segera naik ke motor dan menyuruh istriku naik di belakangku.
Selama di perjalanan, aku hanya diam tak berani mengajak isteriku berbicara, apalagi bercanda karena tahu ia akan mengomel perihal aku yang keasyikan membaca koran di pagi hari. Bagaimana tak keasyikan, di kala gencarnya wacana new normal, ada salah seorang penulis koran yang saat ini lebih memilih PSBB dan stay at home dikala meski ekonomi semakin merosot. Â
Saat ini saja, banyak karyawan perusahaan yang di rumahkan. Itu lebih baik ketimbang di PHK tanpa pesangon. Jika ini terus berlanjut, akan ada berapa banyak orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Belum lagi, usaha kecilan-kecilan yang mendadak gulung tikar karena pelanggannya tak berani ke luar rumah untuk sekadar membeli makanan kecil maupun barang-barang lain.
Terbukti, warung makan kecil milik mbah Marto yang terletak di samping rumahku sekarang tak buka lagi. Pelanggannya nyaris menghilang, makanan yang setiap hari laris manis terjual, semenjak adanya PSBB tak laku sama sekali.Â
Hal ini tentunya merupakan pukulan telak bagi mbah Marto yang sudah tua dan tak sempat lagi memutar otak secara kreatif untuk banting setir ke usaha lain.
Akhirnya, beliau hanya mengharap bantuan akan datang kepadanya. Beruntung, aku tak senasib dengan mbah Marto. Aku merupakan pekerja kantoran yang setiap bulannya rutin digaji pemerintah, sehingga PSBB tak terlalu berpengaruh bagi kondisi keuanganku.
Motor yang kukendarai telah sampai di pasar. Lalu-lalang penjual dan pembeli begitu memadati tempat ini, hingga aku dan isteriku kesulitan menuju penjual yang menyediakan sayur-mayur.
Hari ini adalah hari pertama diberlakukannya new normal. Meski pemerintah menganjurkan untuk menggunakan masker, masih banyak orang-orang di sini yang tak menutup mulut dan hidung mereka meski dengan sehelai kain usang. Selain itu social distansing jelas tak mereka hiraukan, jangankan social distancing, bisa masuk pasar dengan mudah saja merupakan anugrah yang tak terkira dari Tuhan Yang Maha Esa.
Keterkejutanku tak berhenti hingga di situ, beberapa orang, entah pedagang atau pembeli sedang asyik makan dengan tangan kosong. Jangan tanya mereka sudah cuci tangan atau belum? Mereka tak akan peduli dengan hal itu. Bagi mereka yang penting perut kenyang, lapar pun hilang.
      Di jalan raya aneka mobil dan motor berplat nomor luar kota memadati jalan. Jangan tanya mereka pakai masker atau tidak? Boro-boro pakai masker, mereka saja banyak yang naik motor berboncengan. Bahkan di dalam mobil bisa berjejer dekat tanpa ada jarak sedikit pun.
      Beberapa orang tampak asyik nongkrong di pinggir jalan sambil menghisap sebatang rokok. Jangan tanya pakai masker tidak? Social distancing tidak? Cuci tangan atau tidak? Jelas-jelas mereka tak lagi menghiraukan itu.