Aku bergidik, dalam hati berkata:
      "Welcome to new (tidak) normal."
      Inilah inti masalah dari new normal. Suatu pembahasan yang kubaca di pagi hari tadi dari koran usang terbitan beberapa hari lalu. New normal pada awalnya bermaksud untuk membuat tatanan normal baru di kala pandemi sedang menghantui,  namun masyarakat tak bisa bekerja sesuai protokol pemerintah. Selain itu, pemerintah juga tak bisa mengawasi secara ketat berkaitan dengan pelaksanaan di lapangan. Akhirnya, new normal yang tadinya merupakan agenda untuk menstabilkan ekenomi, justeru bisa menjadi pisau bermata dua.  Mestabilkan ekonomi sekaligus menumbalkan orang-orang menjadi korban covid 19.
      Lalu, akankah new normal berubah menjadi new (tidak) normal karena orang-orang berdamai dengan covid 19 secara berlebihan. Masker dibuang, hand sanitizer tak terpakai, cuci tangan tak lagi penting, social distancing dan fisikal distancing hanya akan menjadi kenangan. Sementara di sisi lain korban terus jatuh bergelimpangan.
      Untuk kedua kali aku bergidik, karena sesungguhnya aku juga tak mengindahkan protokol. Tak bermasker, berboncengan meski dengan istri, dan baru saja aku makan gorengan tanpa cuci tangan.
      "Ah inikah yang disebut new normal? Kondisi normal yang diada-adakan ataukah kondisi tidak normal yang dipaksa menjadi normal? Hingga aku tak sadar ke luar rumah tanpa mengindahkan protokol kesehatan setelah sekian lamanya berada di rumah."
      Tiba-tiba terdengar suara,
      "Hatchi!"
      Kali ini istriku yang bergidik ngeri melihat orang di sampingku bersin tanpa menutup mulut, sedangkan air liurnya menyembur ke mana-mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H