Tanpa diajak dua kali aku langsung mengiyakan ajakannya. Jarang-jarang beliau mengajakku ke sana. Ketika berada di rumah, beliau lebih sering menyendiri dan enggan berbicara. Mungkin beliau sedang sibuk mengerjakan tugas tambahan dari kantor.
Aku bersama ayah dan ibu pergi ke taman. Letaknya tak begitu jauh, sekitar 1 kilometer. Kami pergi ke sana dengan menggunakan mobil. Â Â Â Â Â Â
"Bagaimana sekolahmu hari ini San?" Tanya beliau setelah kami berada di taman.
"Biasa  saja yah." Jawabku singkat.
Angin sepoi-sepoi menyambar wajahku. Rambutku juga bergoyang-goyang karenanya.
"Ayah mengerti persaanmu nak. Semenjak kecil kamu tak bisa melihat indahnya pelangi dengan kedua bola mata. Kamu hanya bisa mendengar orang bercerita, bahwa pelangi itu indah dengan aneka ragam warna yang menyatu di dalamnya." Ayah berhenti sejenak.
"Dari kecil, kamu juga tak bisa melihat indahnya layang-layang terbang tinggi, melayang ke  sana ke mari menghibur anak-anak yang bermain." Ayah tampak menahan nafasnya sekejap.
 "Walaupun begitu, ayah percaya kepadamu nak bahwa kelak kamu akan tahu bahwa pelangi itu indah karena warna-warna yang berbeda bersatu-padu menghias tubuhnya. Andaikan pelangi hanya punya satu warna, maka tubuhnya tak akan seindah seperti yang kita lihat sekarang ini. Mungkin warnanya tak akan lebih indah dari laut yang biru atau gunung tinggi yang serba hijau."
"Suatu saat kamu juga akan tahu bahwa layang-layang terbang bukan mengikuti arah angin, tetapi karena melawan angin. Dengan gagah, ia menantang kerasnya angin agar bisa terbang semakin tinggi. Semkin keras ia melawan, semakin tinggi pula ia terbang."
"Begitu pula dengan takdir yang menimpamu nak. Mungkin ayah, ibu, dan kamu tak mengerti mengapa harus menjalani taqdir dengan kondisi seperti ini, namun ayah percaya bahwa terdapat hikmah besar dibalik keterbatasan fisikmu. Walau matamu tak bisa melihat, namun kecerdasan nurani akan membawamu ke gerbang hidup yang lebih dewasa.
"Kamu akan belajar dari pelangi. Ketika ada orang-orang yang pernah merendahkan, menghina, atau bahkan mengejek dirimu, anggap saja itu warna-warni indah kehidupan seperti pelangi tadi. Tak perlu marah, anggap saja perlakuan mereka sebagai pujian atau ungkapan kekaguman yang berbeda dari biasanya. Kamu juga harus bisa bijak berfikir bahwa sejatinya perbuatan mereka adalah batu pijakan agar kamu senantiasa memacu semangat agar terus berprestasi dan berkarya meski kamu tak sesempurna mereka."