Perkenalkan, namaku Hasan. Semenjak kecil aku tidak bisa melihat karena terdapat salah satu syaraf mataku yang rusak. Orang tuaku sudah berusaha membawaku ke dokter spesialis mata di kota Surabaya, namun hasilnya sama saja.
Aku tetap tidak bisa melihat, bahkan beberapa dokter mengatakan mataku sudah tidak bisa lagi disembuhkan.
Mendengar ini, awalnya orang tuaku tidak percaya. Mereka tetap berjuang, membawaku ke berbagai dokter terkenal sampai ke Jakarta. Sayang, hasilnya tetap nihil.
Aku divonis buta selamanya. Maka dengan berat hati, orang tuaku menerima penjelasan itu, dan tak lagi berharap yang muluk-muluk ketika berobat.
Ketika umurku 7 tahun, aku bersekolah di lingkungan yang berbeda dengan teman-teman lain yang normal. Aku duduk di sekolah berkebutuhan khusus, karena kondisi fisik yang tak memungkin aku berada di sekolah normal.
Pada awalnya, aku begitu sedih berada di sini. Menjadi orang berbeda bersama teman-teman lain dengan segala keterbatasan yang kumiliki. Hari-hari kulalui dengan penuh kehampaan.
Di sekolah dan rumah, aku lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama orang lain. Orang tua dan guru begitu cemas melihat perkembangan psikisku yang semakin lama, semakin memburuk. Â
Terkadang aku berteriak-teriak sendiri di sekolah, lalu menangis sejadi-jadinya. Hal itu terus terjadi setiap hari, hingga akhirnya seorang psikiater datang memeriksaku.
Dia memberikan saran kepada guru dan orang tua agar selalu mengajakku berbicara santai, dan bercanda agar aku tidak murung. Psikis buruk terjadi karena aku dibiarkan sendiri, melamun, dan memikirkan berbagai hal aneh, sehingga aku terindikasi stress berat.
Sore ini, ayahku pulang kantor lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa beliau pulang awal, padahal biasanya menjelang maghrib beliau baru tiba di rumah
"Hasan... Jalan-jalan ketaman yuk?"