Sejarah mencatat bahwa agama Islam unggul tidak hanya dalam hal politik, namun juga unggul dalam hal keilmuan. Terbukti bahwa dari agama ini lahir sebuah peradaban agung yang sangat dikagumi oleh berbagai penduduk di penjuru dunia, seperti negara-negara di Barat.
Tradisi keilmuan dalam Islam sebenarnya telah dicontohkan oleh Nabi SAW pada saat beliau menyampaikan wahyu Ilahi kepada para sahabatnya melalui lisan beliau sendiri.Â
Kemudian para sahabatnya mendengar dan meghafal sama persis apa yang beliau sampaikan, serta beberapa sahabat menuliskannya di pelepah kurma, batu, dan lain-lain.
Selain itu, Rasululullah SAW juga menyapaikan hadist lewat lisan beliau sendiri sama persis seperti menyampaikan wahyu sebelum Al-Quran terkodifikasi.Â
Dari dua tradisi ini, maka dua buah proyek besar dilaksanakan. Pertama, pembukuan Al-Quran pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Kedua, dibukukannya hadist pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasty Umayyah.
Kedua proyek tersebut kelak menjadi akar keilmuan yang mengasilkan berbagai macam turats seperti filsafat Islam, astronomi, ushul fiqih, ilmu kalam, tashawuf, dan lain-lain.Â
Tradisi keilmuan Islam mengalami masa keemasan dikala Khalifah Harun Al Rasyid dan Khalifah Al Makmun memimpin Dinasty Abbasiyah, dengan didirikannya Baytul Hikmah.
Berdasarkan catatan sejarah, Baytul Hikmah merupakan tempat untuk berdialog, penelitian, sekaligus pusat penerjemahan kitab-kitab sains yang berasal dari Yunani. Dengan adanya lembaga tersebut, kajian-kajian berkenaan dengan studi Islam berkembang pesat.
Adapun kajian studi Islam yang begitu hangat diperbincangkan salah satunya ialah ushul fiqih. Perkembangan produk tersebut begitu menarik diperbincangkan sebagai proses pencarian hukum ibadah dan muammalah yang melibatkan Syari' (pembuat syariat yaitu Allah) dengan syariat itu sendiri sebagai produk hukum.
Konsekuensi dari rumusan terbut menimbulkan pemahaman bahwa segala bentuk hukum yang dihasilkan bercorak teosentris, bukan antroposentris. Akibatnya, hukum yang dihasilkan bersifat rigid, kaku, dan tidak membumi dengan situasi, serta kondisi masyarakat majemuk.
Dewasa ini masyarakat membutuhkan sebuah metode baru penetapan hukum ibadah dan muammalah yang responsif sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat. Selain itu, Â dibutuhkan pula sebuah formula agar ushul fiqih tak mengebiri nilai-nilai kemanusiaan.