Saat umurku 6 tahun, aku begitu takut ketika malam hari tiba. Kegelapan terlalu menyeramkan untukku yang masih terlalu pengecut ini. Suara hewan, dedaunan yang menari karena angin, dan rintik ketika hujan benar-benar membuatku berharap bahwa pagi akan segera tiba.Â
Saking takutnya dengan malam, aku pernah menahan pipis selama hampir 7 jam. Pukul 10 malam aku terbangun dari tidur karena ingin pergi ke kamar mandi, namun kuurungkan hal itu karena biasanya disana ada suara burung yang mencengkam seperti suara hantu di pohon.Â
Alhasil, semalaman aku tak bisa tidur. Beruntung aku tak sampai ngompol. Andaikan ngompol, pasti bakalan kena marah sama papa dan mamaku.
Kenangan itu telah berlalu, kini aku tak akan pernah lagi takut dengan hal-hal mistis. Malam merupakan kawan sejatiku. Sebagian besar, aku bekerja di malam hari. Mulai dari translate, hingga edit naskah.Â
Kenapa harus malam hari? Karena malam hari merupakan waktu yang cocok untuk bekerja dengan damai, sepi, dan tenang. Ditemani secangkir kopi, aku dapat bekerja hingga pukul tiga pagi.
Sebagai seorang freelance, pekerjaanku kadang tak menentu. Terkadang bekerja seharian sampai lupa makan dan minum, tetapi juga pernah seharian tanpa satu pun pekerjaan hingga aku benar-benar bosan dan bermalas-malasan seharian. Â
Malam ini, aku mengejar deadline terjemah artikel bahasa Jerman yang akan ku kirim esok hari. Seorang mahasiswa S1 dari tadi memberikan pesan kepadaku bahwa terjemah itu harus segera selesai esok hari karena akan digunakan sebagai bahan refrensi penelitian.Â
Tentu saja aku bisa menyelesaikan, asalkan upah yang diberikan sesuai. Menjadi seorang penerjemah bahasa mempunyai tantangan sendiri. Disamping menerjemahkan kata, aku juga dituntut untuk menerjemahkan sesuai dengan frasa, dan tata bahasa yang berlaku agar menjadi kalimat runtut, sehingga mudah dibaca.Â
Menurutku, ada beberapa bahasa yang sulit, diantaranya bahasa Jerman, Prancis, dan Jepang. Karena sebab itulah aku memasang tarif mahal untuk ketiga bahasa itu.
Hening malam membuatku tak sadar bahwa waktu begitu cepat berlalu, hingga tak terasa naskah berbahasa Jerman sudah siap ku kirim lewat email. Selesai sudah pekerjaan ku hari ini.
****
Kali ini sang malam datang, dan kemudian meyapaku. Sayangnya, hari ini aku tak punya deadline pekerjaan yang harus kuselesaikan. Mungkin, aku tak bisa menemani malam seperti hari-hari biasa. Tiba-tiba, sebuah pesan singkat membuatku terbangun dari ranjang.
Salah seorang temanku menyebarkan pamflet bertuliskan:
"Lomba Menulis Cerpen Berhadiah Jalan-Jalan ke Paris."
Mataku seketika membulat. Alangkah senangnya jika bisa mendapat juara dan akhirnya pergi ke Paris untuk berlibur. Bagiku, lomba ini menarik bukan hanya dari hadiahnya, melainkan menarik karena mampu memotivasi diriku agar bisa membuat tulisan yang berkualitas dan bermanfaat bagi orang lain.
Menurutku menulis cerpen itu kegiatan berimajinasi untuk menciptakan dunia lain sesuai dengan kehendak dan keinginan penulis. Dia bebas menciptakan tokoh, karakter, seting tempat dan waktu tertentu di dunia fiksi.Â
Dengan kata lain, seorang penulis dengan kemampuan berimajinasinya mampu menjadi tuhan di dunia fiksi. Tentu bukan berarti dengan karyanya dia akan menantang Tuhan yang sebenarnya, melainkan itu hanyalah sebuah perumpamaan dariku agar aku bisa terus memotivasi diri untuk berkarya, khususnya menulis cerpen.Â
Mungkin perumpamaan ini terlalu aneh, namun bagiku ini adalah pendapat yang sah. Bisa salah, bisa juga benar tergantung bagaimana cara memandangnya.
Secara perlahan jari-jemariku mulai merangkai kata dan kalimat lewat tuts-tuts keyboard. Tanpa ada kesulitan, aku menciptakan beragam tokoh, latar, dan seting yang menarik. Malam menjadi sahabat setiaku untuk menulis. Sesekali kuseruput kopi hitam nikmat asli dari Aceh agar rasa kantuk tak menghampiriku di malam ini.
Ku rangkai kata demi kata. Ku jalin kalimat demi kalimat. Ku untai paragraf demi paragraf hingga akhirnya menjadi sebuah cerita indah dan menarik. Sebelum cerpen itu kukirim, tak lupa kucermati ketentuan dan syaratnya agar aku tidak terdiskualifikasi hanya karena lalai mencermati dua hal itu. Setelah benar-benar yakin akan kelangkapan keduanya, ku kirim karyaku lewat email.
****
Menara Eiffel begitu indah dipandang mata. Tampak beberapa wisatawan berfoto dan menikmati keindahan disana. Muda-mudi asyik bercengkrama di sana-sini hingga menjelang malam.Â
Aku dan teman-temanku berdiri persis di depan menara, sembari berfoto lalu menikmati keindahan alam. Suasana begitu sejuk, bersih, dan segar. Banyak wisatawan yang berkata:
"Disini merupakan tempat paling romantis untuk menjalin cinta."
Kalimat itu benar, sayangnya orang-orang yang datang kesini mengartikan cinta hanya sebatas "duduk berdua, saling menatap, dan pegang tangan antara pria-wanita," padahal cinta itu sangat luas maknanya.Â
Tak bisa dibatasi dengan kata maupun angka, apalagi hanya terbatas untuk lawan jenis wanita-pria. Seharusnya, di tempat ini merupakan tempat romantis untuk menjalin cinta antara aku, kau, kita, dan kalian dengan-Nya, karena semua bersaudara dan sama-sama makhluk-Nya. Itulah hakikat cinta yang sebenarnya.Â
 Lagi-lagi malam selalu menyertaiku, tidak hanya di kamar tempatku bekerja. Ia selalu hadir disini, menemaniku disaat aku sedang asyik bercengkrama dengan-Nya.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H