Mohon tunggu...
Ade Lanuari Abdan Syakura
Ade Lanuari Abdan Syakura Mohon Tunggu... Guru - Bersatu padu

Hanya manusia biasa yang diberikan kehendak oleh Tuhan untuk menggoreskan pena pada secarik kertas kusam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aksi 212 (Bukan) Makar

31 Januari 2019   19:52 Diperbarui: 31 Januari 2019   20:06 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(antara/Sigid Kurniawan)

3 Hari Sebelum Aksi 212

Di kamar, aku duduk menyimak berita. Beberapa stasiun televisi mulai membahas setuju dan tidaknya aksi 212. Bagi yang setuju, aksi 212 merupakan tindakan logis adanya berbagai macam permasalahan ketidakadilan di negeri ini. Sedangkan yang tidak setuju, aksi 212 dinilai kental dengan nuansa politis dan bisa memecah belah persatuan bangsa.

Sebagai penikmat berita, aku tidak mau terlibat dengan perdebatan kusir setuju atau tidak setuju aksi 212. Aku ingin mengamati langsung aksi itu dengan mataku sendiri, bukan dengan mata para wartawan yang subjektif.

Kumatikan televisi dan aku pun beranjak pergi untuk kuliah. Sayangnya, kakiku terhenti di ruang tamu. Sebuah koran nasional tergeletak di meja, dengan headline "Aksi 212 = Makar?". Kubaca secara jernih dan perlahan. Intinya, aksi tersebut merupakan momen untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi tertentu.

Benarkah demikian? Bagiku, semakin lama media massa, baik cetak maupun online semakin tendensius memberitakan aksi 212. Tentunya, dengan opini yang "maksa." Entah benar atau tidak, aku tidak mau terjebak dengan penilaian wartawan. Aku harus objektif. Aku harus bisa menilai sendiri dengan bijak.

*****

Di kampus, perbincangan akan adanya aksi 212 begitu kental. Tidak hanya dosen, bahkan beberapa mahasiswa baru ikut angkat bicara mengenai aksi tersebut. Seluruh masyarakat kampus mendadak melek politik. Tidak afdol rasanya jika melewatkan pembicaraan aksi yang diadakan pada detik-detik akhir sebelum terompet tahun baru ditiup.

"Bagi saya aksi 212 merupakan aksi yang sah dan dilindungi oleh HAM. Setiap orang berhak berpendapat dan berserikat sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 28 E ayat 3 HAM. Jadi, enggak boleh ada oknum yang ngelarang. Orang demo kenaikan BBM aja boleh kok, masa aksi 212 dilarang?" Entah sedang membicarakan apa, tiba-tiba dosen yang mengajar di kelasku ikut bersuara mengenai aksi 212.

Tak lama kemudian, seorang mahasiswi berkaca mata mengacungkan tangan kanannya. Lalu, sang dosen mempersilahkannya untuk berbicara.

"Tadi pagi saya baca koran. Intinya aksi 212 merupakan tindakan makar. Apakah benar seperti itu pak?"

"Saya tidak mau menilai sesuatu berdasarkan prasangka. Supaya jelas, sebaiknya kita datang saja ke Monas saat acara sedang berlangsung. Kita amati kegiatan apa saja yang ada di sana. Apabila terdapat tanda-tanda makar, hasut-menghasut, dan memecah belah NKRI kita loporkan saja ke pihak yang berwajib."

Seisi kelas menganggukkan kepala.

"Setuju pak... Begitu lebih baik daripada kita terus berprasangka buruk dengan aksi itu." Salah seorang mahasiswa menimpali.

Aku hanya tersenyum. Tak kusangka jalan fikiranku dan dosen itu sama. Benar-benar dosen yang menakjubkan. Kuliah siang hari ini diakhiri dengan tugas membuat kliping aksi 212. Keluar dari kelas, semua mahasiswa tampak semangat dan puas. Mungkin, dalam hati mereka berkata: "Kuliah siang hari ini benar-benar mencerahkan."

Siang Hari Saat Aksi 212

Lautan manusia berbusana putih tampak memenuhi jalan-jalan sekitar Monas. Semua yang hadir tampak tertib menyimak orasi beberapa ustaz. Tidak ada ujaran kebencian, apalagi hasut-menghasut yang dapat memecah belah NKRI.

"Hadirin sekalian yang saya hormati. Pada hari ini, kita semua menjadi saksi bahwa segala macam bentuk tindakan diskriminatif harus kita tumpas. Bersama-sama kita tegakkan keadilan agar negeri ini bisa menjadi makmur dan sejahtera, serta diridhai Allah."

"Umat Islam haruslah menjadi teladan bagi umat lain. Kita jalin persatuan dengan siapa pun tanpa memandang suku, ras, dan etnis. Bersama-sama kita ratakan ekonomi rakyat agar tidak ada lagi jurang antara si kaya dan si miskin. Kita sudah lelah melihat banyaknya gedung tinggi menjulang, namun di kolong jembatan masih ada fakir miskin yang meminta-minta demi mendapat sesuap nasi."

"Umat Islam juga harus mampu bekerja sama dengan umat lain dalam memberantas kebodohan di bumi ini. Kita akan bersama-sama menciptakan generasi bangsa yang tidak hanya unggul dalam hal intelektual, namun juga unggul dalam moral. Dengan begitu, secara tidak langsung kita telah menciptakan generasi yang siap memimpin Indonesia di waktu mendatang, dan Insya Allah negeri ini akan menjadi negeri yang mandiri di atas kaki sendiri."

Tubuhku bergetar mendengar nasihat itu. Aku berani menjamin bahwa aksi ini bukan sedang membicarakan sekat-sekat golongan antara aku, kamu, dia, kalian, mereka, dan kita, tetapi berbicara agar keadilan tegak di muka bumi. Persatuan terjalin dengan kokoh tanpa harus menghilangkan perbedaan antar golongan, serta kerja sama dapat tercipta demi kepentingan bersama.

"Mau air mas?"

Seseorang berjanggut lebat menawariku satu botol air mineral.

"Silahkan ambil aja mas. Panas-panas kaya gini baiknya minum air putih biar enggak dehidrasi." Orang itu tersenyum ramah kepadaku.

Aku pun menerima tawarannya, dan akhirnya kami berbicara panjang lebar. Orang yang menawariku air bernama Imran. Dia berasal dari Samarinda.

"Saya jauh-jauh dari Samarinda pingin silaturahim sama umat Islam yang ada di Indonesia mas. Saya berharap dengan silaturahim ini bisa dapet barokah dan hidayah dari Allah. Niat saya baik, Insya Allah enggak ada maksud buruk apalagi buat ganti ideologi Pancasila."

Imran masih tersenyum ramah kepadaku. Rona wajahnya begitu tulus tidak terlihat kebohongan sedikit pun. Aku begitu nyaman berbicara dengannya. Tidak kusangka kegiatan ini sudah berada dipenghujung acara. Seorang ulama memimpin doa bersama.

Semua yang hadir begitu khusuk mengamini doanya. Tak terasa, banyak hadirin yang meneteskan air mata berharap silaturahim ini bisa membawa perdamaian bagi sesama.

*****

Aksi 212 telah usai dengan damai tanpa ada kericuhan sedikit pun. Sebelum meninggalkan Monas, orang-orang memunguti sampah yang berserakan di jalan dan membuangnya ke tempat sampah. Selain itu, panitia memberikan perintah agar para hadirin tidak menginjak dan merusak rumput di taman sekitar.

Hal ini merupakan sebuah pembuktian bagi semua warga Indonesia bahwa aksi 212 adalah aksi cinta damai sekaligus aksi cinta lingkungan, dan yang lebih penting "Aksi 212 = (Bukan) Makar."

Yogyakarta, 21 Januari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun