Suasana disiang itu sangat padat. Banyak kendaraan roda dua dan empat yang mengeluarkan asap dari knalpot. Di perempatan jalan, tampak seorang pengemis sedang menadahkan tangan ke mobil dan motor saat lampu merah menyala. Pemandangan ini sekilas tampak biasa dan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tak heran, banyak orang yang acuh tak acuh terhadapnya.
Jika fenomena ini terus-menerus terjadi, maka siapakah yang patut untuk bertanggungjawab terhadap mereka? Masyarakat? Apakah karena ketidak peduliannya, menyebabkan orang-orang disekitar menjadi seorang peminta-minta? Atau apakah ini salah pemerintah, karena dalam pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa: 'Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara.'
 Nyatanya, mereka dikolong jembatan meminta-minta, dengan rasa putus asa, sambil mengelus dada karena kata merdeka hanyalah bualan semata. Ah, siapa peduli dengan hak fakir miskin? Jangankan peduli terhadap mereka, mendoakan mereka dalam setiap tarikan nafas pun banyak orang yang enggan."
Bandung, 14 Januari 2010
Adi menutup buku catatan hariannya karena sudah malam. Dia bergegas ke kamar untuk tidur karena esok hari dia akan sekolah.
                              ****
Di suatu Sekolah Menengah Atas, Adi sedang mendengarkan penjelasan pelajaran sejarah dari gurunya.
"Anak-anak, ada yang pernah membaca karya HOS Tjokroaminoto yang berjudul Islam dan Sosialisme?" Pak guru yang sering dipanggil Muhtadi bertanya kepada murid-muridnya.
Semua anak di dalam kelas itu terdiam seribu bahasa. Tak ada suara, tak ada kata, hanya detak jantung dan suara hati yang berbicara. Pak Muhtadi menggelengkan kepala dan berkata:
"Aduh-aduh, masak dari 25 siswa tidak ada satu siswa pun yang pernah membaca tulisan HOS Tjokroaminoto? Kalian ini benar-benar pemuda apatis." Pak Muhtadi mengejek para siswanya dengan candaan yang menggelitik, namun tetap bisa diterima oleh mereka.
"Kalian ini anak sosial lho, masak enggak peduli sama masalah sejarah? Oke, bapak akan menjelaskan beberapa bagian penting dari buku itu."