Mohon tunggu...
Ade Nur Saadah
Ade Nur Saadah Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan Jurnalis Lifestyle

Wife & Mom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waspadai Faktor "X" dalam Pernikahan

25 April 2018   21:35 Diperbarui: 27 April 2018   03:06 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto : www.meetmind.com

Faktor "X" dalam pernikahan bukan hanya datang dari orang ketiga, seperti mertua, ipar maupun pelakor atau pebinor, tapi juga pembiaran atas karakter negatif pasangan karena menerimanya sebagai takdir.

Dalam sebuah pernikahan, hal yang paling menjadi pertimbangan utama adalah kesepakatan pasangan dalam menjalani kehidupan dalam ikatan pernikahan. Mulai dari kesepakatan soal finansial, jumlah anak hingga bagaimana kelak pola pengasuhan anak yang mereka pilih.

"Beberapa pasangan biasanya sudah membicarakan tentang persoalan ini jauh-jauh hari, termasuk siapa yang bertanggungjawab terhadap item-item tertentu dalam keluarga mereka. Bahkan ada pula yang sampai rinci membicarakan tentang kesehatan reproduksi. Bagaimana pun isteri juga memiliki hal terhadap jumlah anak karena berkaitan dengan kesehatan reproduksinya," jelas  Aditiana Dewi  Eridani, Direktur Rahima, Lembaga Swadaya Masyarakat yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dalam perpektif Islam.

Ketidakterbukaan terhadap pasangan juga bisa menjadi bola panas dalam perjalanan rumah tangga. "Karena banyak pasangan yang bercerai karena tidak adanya keterbukaan di antara mereka. Kedewasaan seseorang itu bukan terkait dengan usia, melainkan kesiapan mental, fisik dan finansial. Hal ini pula yang menyebabkan ada yang sudah bertahun-tahun menikah tapi masih belum memahami tujuannya menikah."

Begitu pun ada pula faktor "x" yang membuat seorang isteri yang sudah hidup puluhan tahun dengan suami berkarakter buruk tapi tetap mempertahankan pernikahannya. "Bisa jadi dia mempertimbangkan banyak hal, termasuk anak-anak dan nafkah yang masih dibutuhkannya dari sang suami. " Tapi tidak sedikit pula yang membiarkan hidup dalam deraan derita karena menerimanya sebagai takdir. Bahkan ada perempuan yang membiarkan suaminya berulangkali selingkuh hanya karena tidak ingin menyandang status janda. Tidak sedikit pula yang menutup mata atas kelakuan suami yang kerap melakukan KDRT atas nama cinta. Sungguh sebuah bentuk cinta yang absurd!

Lebih lanjut, Eridani menambahkan bagaimana selama ini Rahima selalu memperjuangkan kesetaraan suami dan isteri dalam pernikahan, termasuk dalam kesehatan reproduksi, pola asuh anak, hingga manajemen keuangan yang semestinya dilakukan bersama-sama.  "Di agama Nasrani, misalnya, wajib bagi pasangan yang ingin menikah untuk mengikuti kursus pranikah. Kursus ini biasanya dilakukan selama beberapa bulan sebelum menikah. Sementara di banyak KUA, kursus pranikah berupa nasihat pernikahan yang  lebih bersifat simbolis. Namun ada beberapa KUA yang bekerjasama dengan Puskesmas untuk memberi edukasi tentang kesehatan reproduksi kepada calon pengantin. Tapi sayangnya, hal ini tidak bersifat wajib."

Tentang penentuan jumlah anak yang dikehendaki dan penolakan seorang istri untuk hamil lagi, juga masih menjadi hal yang kurang patut bagi pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia. Belum lagi masih kuatnya budaya patriarki yang masih menganggap suami sebagai kepala rumah tangga adalah pemegang kendali dan penentu keputusan dalam keluarga. Bahkan dalam kaitan pasangan yang selama bertahun-tahun belum memiliki anak, jarang sekali pihak keluarga yang menyalahkan suami. Alih-alih menganjurkan untuk sama-sama memeriksakan diri ke dokter agar tidak saling menyalahkan, tidak sedikit pula keluarga yang menyarankan si suami untuk menikah lagi demi meneruskan keturunannya.

Perjanjian Pra Nikah Itu Penting

Menyikapi banyaknya persoalan yang terjadi dalam sebuah pernikahan, Eridani menekankan perlunya membuat perjanjian pranikah sebagai upaya preventif. Semakin meningkatnya angka perceraian dengan beragam penyebabnya bisa menjadi pertimbangan untuk  membuat perjanjian khusus di antara pasangan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Tapi sampai saat ini, pembuatan perjanjian pranikah ini masih sering dianggap tabu dan kerap dikaitkan dengan persoalan harta gono gini.

"Padahal, Perjanjian Pranikah atau yang lebih dikenal dengan istilah Prenuptial Agreement ini bukan hanya memuat klausul mengenai materi dan pembagian harta gono gini saja, tapi juga bisa menyangkut berbagai hal yang menjadi keinginan dan kesepakatan kedua belah pihak. Selama ini Perjanjian Pranikah berisi hal-hal mengenai finansial, kesehataqn reproduksi, kesetiaan hingga kondisi yang memungkinkan terjadinya perpisahan," jelas Eridani.

Perjanjian Pranikah tersebut bisa dilakukan di depan notaris untuk menguatkan secara hukum. Tapi bisa juga dilakukan di depan keluarga besar kedua belah pihak sesuai kesepakatan bersama.

"Tapi sayangnya, hal ini belum menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat kita, karena masih banyak yang menganggapnya tabu. Baru mau nikah kok sudah membahas perpisahan. Padahal, perjanjian semacam ini justru sangat memuliakan makna sebuah hubungan karena masing-masing memiliki komitmen yang jelas tentang niat mereka untuk menikah. "

Lebih lanjut Eridani menambahkan kalau perjanjian ini lebih sebagai pegangan bagi kedua belah pihak ketika dalam perjalanan pernikahan mereka terjadi masalah. Banyak kasus perceraian yang prosesnya menjadi rumit dan berlarut-larut karena tidak adanya pegangan yang membuat salah satu bisa mengalah dan sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun