Setelah resign dari sebuah kampus di wilayah Tangerang Selatan karena mengikuti keinginan orang tua untuk tinggal dan kuliah di Jogja, saya mendapat tawaran mengajar sebagai guru TPA di Yogyakarta, saya berpikir daripada saya bosan menunggu masuk kampus baru hingga bulan Agustus, maka saya memutuskan untuk menerima tawaran tersebut.
Jangan bayangkan ini TPA di sebuah Masjid ya, TPA ini berlangsung di rumah seorang tukang sayur, dengan keadaan seadanya dan bau menyengat khas pasar.
Pekerjaan saya di TPA itu, awalnya memang hanya mengajar mengaji, mulai dari latihan membaca Iqro hingga yang membenarkan bacaan yang sudah Al-Quran. Murid murid saya berusia mulai dari 2 tahun hingga 11 tahun.
Setelah beberapa hari mengajar mereka, saya memutuskan untuk mengobrol dengan anak anak yang lebih tua, menanyakan apa saja yang mereka pelajari di sekolah, dan yang terpenting apa cita cita mereka.
Ketika saya tanya mengenai cita cita, mereka semua terbengong kemudian yang tertua dari mereka namanya Dimas berkata
"Kalo mau punya cita cita kan harus kuliah yah mbak? Kalo miskin ya ngga bisa punya cita cita mbak"
Saya kaget mendengarnya, dan lebih kaget lagi ketika akhirnya saya menemukan bahwa 7 anak yang saya ajak mengobrol itu hampir semuanya mengamini apa yang dikatakan oleh Dimas tadi. Lagi lagi masalah ekonomi yang menjadi doktrin sehingga seseorang menjadi tak bisa bercita cita.
Terbayang masa kecil saya ketika ditanya ingin jadi apa saya dan teman teman langsung menjawab ingin jadi apa tanpa pernah memikirkan bagaimana kondisi ekonomi dan lain sebagainya.
Akhirnya saya memutuskan untuk menjawab
"Ngga begitu Mas Dimas, mau miskin mau kaya ya tetap harus punya cita cita. Belajar biar sampe cita citanya"
"Berarti kalo pinter tapi miskin bisa Mbak sampe cita citanya?" tanya Dimas lagi, ekspresinya luar biasa berubah, menjadi cerah dan tidak seperti tadi