Perempuan itu makin ingin menangis saja. Dia berjalan menuju sofa di depan televisi. Sambil menunduk ia meraih kacamata di meja kecil, persis di samping laki-laki itu mengambil posisi. Dipakainya kacamata itu. Perempuan itu mengangkat wajahnya, tersenyum pada laki-laki yang kini telah menyalakan rokok.
"Aku kaget kamu ingat ulang tahunku," Titik duduk di sebelah Tanya, matanya menatap televisi yang tidak menyala.
"Masak sih saya lupa? Ingin keluar?"
Titik menatap Tanya. Tanya menunduk, rambutnya yang panjang di bawah telinga menutupi wajahnya. "Aku sedang menunggu pizza, sebentar lagi pasti tiba." Ditatapnya bingkisan mungil yang kini berada di atas meja.
"Ganti bajumu, aku ingin mengajakmu keluar."
Titik mengerutkan dahinya, alisnya hampir menyatu, "Hahaha... Kamu kenapa sih? Gak seperti biasanya? Biasanya kamu senang kalau ada makanan, kamu pasti tunggu pizza itu datang, tapi kok? Hei... hei... Tan... Serius banget kamu!" Siku Titik menyolek-nyolek bahu Tanya lembut. Tanya merubah kepalanya, ia menatap perempuan itu sekarang. Tiga detik, lima, sepuluh, lama. Perempuan itu tertawa (tak tahan ia, sembunyi).
***
"Aku akan mengabulkan semua permintaanmu. Uang, wanita, ketenaran, apa saja yang kamu inginkan." Persis setan, atau Tuhan?
"Apa yang membuatmu berpikir aku tertarik dengan itu? Hidupku sudah cukup nyaman, aku punya Petik, aku cukup tenar di kota kecil ini, aku senang dengan pekerjaanku. Hahahaha... Kau persis setan, kau kira aku akan dengan mudah menjual jiwaku padamu ?"
Dia putus asa, "Tolonglah aku, aku hanya ingin kau membantuku, membantu dia, tolonglah, aku tak tahu lagi harus berbuat apa, hanya kau yang paling cocok."
Laki-laki itu kembali menghisap dalam rokoknya. (Makin iri ?)