Â
"Kamu mau 'kan?" dia bertanya. "Kenapa harus aku?" Pria itu membalas pertanyaannya." Karena kamu yang paling cocok, aku sudah memperhatikanmu," dia lagi.
"Hmm... Kamu yakin? Kamu yakin aku bisa?" Pria itu merubah posisi duduknya dan menyalakan rokok, dia ingin menawarkan teman bicaranya, tapi tidak jadi. Sebuah kesalahan.
"Aku yakin kamu bisa. Aku sudah memperhatikanmu dari dulu, seperti aku telah memperhatikan dirinya." Dia memperhatikan pria yang kini sedang menghisap rokoknya. (Iri?)
"Kenapa tidak kamu lakukan sendiri?" Sebuah pertanyaan bodoh, dia menyesalinya, tapi tidak terlihat, membuang asapnya.
"Hhhh... 'Kan aku sudah bilang, aku terlalu mustahil bagi dirinya, aku tak mampu berubah, aku berbeda."
"Selamat ulang tahun!" Laki-laki itu tersenyum lebar, menyodorkan bingkisan mungil yang terbungkus rapi, lengkap dengan pita merah. Berdiri di depan pintu rumah perempuan itu, kemeja biru, celana jins, sepatu cokelat. Ia rapi sekali, membuat perempuan yang membukakan pintu malu akan piyama yang dikenakannya, motif panda, seperti anak kecil. Perempuan itu sempat mengira itu pizza pesanannya. Menghibur dirinya yang memang ulang tahun saat itu. Dia sangat terkejut, terharu, ingin menangis. Matanya sudah sangat panas. Perempuan itu bingung, terpana.
"Terimalah, ini untuk kamu. Aku boleh masuk?" Dia membuka sepatunya dan melangkah masuk.
"Ya... ya silakan saja..." Perempuan itu menggeser tubuhnya yang kurus, mengizinkan laki-laki itu masuk, masih ingin menangis, ia menundukkan wajah tak berani menatap laki-laki itu.
Laki-laki itu membiarkan dirinya masuk. Ia kagum atas perempuan itu, masih muda sudah memiliki rumah sendiri. Rumahnya pun nyaman, walau sempit sederhana. Laki-laki itu langsung duduk, di sofa kulit ruang TV. Tak ada ruang tamu, laki-laki itu menyadari. Sekarang ia merasa simpati.
"Jadi apa yang ingin kamu lakukan malam ini? Tidakkah kamu ingin membuat hari ini spesial? Ulang tahunmu yang ke tiga puluh satu, kau bahagia?"