Hawa. Sebenarnya namanya indah, diambil dari (konon) nama perempuan pertama yang ada di bumi. Yang (lagi-lagi) konon lahir dari tulang rusuk Adam. Laki-laki pertama yang ada di bumi. Tapi Hawa menyesali namanya. Hawa bahkan menyesali dia dilahirkan sebagai perempuan, apalagi dinamakan Hawa. Dia merasa lemah sekali punya vagina, ditambah namanya yang buat dia semakin lemah.
Hawa membenci perempuan, makhluk yang sudah ditakdirkan lemah tak berdaya. Itu tandanya dia benci dirinya sendiri, sebagai seorang perempuan, apalagi dia bernama Hawa. Sialan! pikirnya. Jika aku bisa memilih, aku ingin dilahirkan sebagai laki-laki. Tapi sebagai laki-laki pun aku akan tetap membenci perempuan.
Pikiran-pikiran Hawa tidak timbul karena dia banyak membaca, tidak timbul karena dia pernah dilecehkan, tidak timbul karena dia kurang bimbingan orangtua. Hawa hanya melihat realita. Realita dan fakta yang begitu membuatnya geram dan ingin menjadi laki-laki.
Hawa terkadang merasa dirinya seksis, terkadang merasa dirinya 'terlalu laki-laki', terkadang merasa dirinya 'terlalu perempuan', terkadang tidak dua-duanya, sampai-sampai dia tidak membedakan lagi laki-laki dan perempuan, Hawa lebih senang menyebutnya maskulin dan feminin, tapi definisi istilah-istilah itu pun masih kabur baginya. Vagina bisa maskulin, penis bisa feminin. Tidak ada laki-laki dan perempuan. Tapi dunia tidak membiarkan itu terjadi. Dunia terlalu naif. Dunia terlalu. Keterlaluan.
Karena seluruh dunia seperti itu, Hawa jadi semakin benci perempuan. Kenapa Riri harus aborsi dan hancur karena ditinggal pacarnya begitu saja setelah hamil? Kenapa Dini harus menerima suaminya menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda daripada anaknya, tiga perempuan, bukan hanya satu? Kenapa Tina harus rela memotong jarinya sendiri untuk membuktikan pada suaminya kalau ia tak selingkuh, sementara dia tidak bisa melakukan sebaliknya padahal sudah jelas suaminya selingkuh? Kenapa Fika harus menikah dengan laki-laki yang dipilihkan bapaknya untuknya, padahal dia sama sekali tidak mencintainya dan hanya berpura-pura senang? Kenapa Dina harus pindah agama ikut suaminya, memakai seprai, bertutup sekujur, kegerahan, hanya karena suaminya mengancam akan meninggalkannya setelah mereka punya anak? Kenapa Nissa harus menerima saja ketika bapaknya memperkosanya? Kenapa Putri harus menerima disiram air keras oleh suaminya hanya karena dia sudah tidak perawan lagi pada malam pertamanya? Kenapa Sita dipaksa punya anak padahal dia sangat benci anak-anak? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang mengisi otak Hawa.
Jawabannya hanya satu. Bukan karena mereka tidak punya pilihan. Tapi karena mereka perempuan. Hawa menyimpulkan. Memang seksis kedengarannya. Memang seperti menelan ludah sendiri. Tapi begitulah Hawa sejak awal, menelan ludahnya sendiri, dia sangat benci perempuan, tapi justru dilahirkan sebagai perempuan. Apalagi namanya. Hawa. Ah sialan!
Perempuan memang lemah. Digarap, ditusuk, ditancap, diembat, dari mulai bayi, balita, anak kecil, remaja, muda, nenek-nenek, mayat, masih juga...
Apa semata-mata karena keindahan mereka? Ah, apanya yang indah dari perempuan kecuali kelemahan dan ketergantungan mereka, bagi laki-laki. Mereka tak kuasa menolak ketika laki-laki menggarap mereka. Mereka hanya ber-ah-uhh... terkadang menikmatinya, terkadang berpura-pura, terkadang tidak mengerti, terkadang menangis, terkadang tidak berada di sana... karena memang sudah jadi mayat.
Hawa tidak pernah punya pacar. Hawa tidak tertarik pada laki-laki karena dia perempuan. Hawa juga sangat membenci perempuan karena dia perempuan. Seks? Ah Hawa merasa tidak butuh. Anak? Buat apa menambah manusia di dunia yang naif dan dalam ambang kehancuran. Menikah? Haha! Jangan bercanda!
Apakah perempuan begitu lemahnya, sehingga tidak kuasa memilih? Apakah perempuan begitu kuatnya hingga bisa selalu menyembunyikan perasaan dan kemauannya sendiri? Apakah perempuan begitu indahnya sehingga patut selalu dijaga padahal malah kehancuran yang didapatnya? Apakah perempuan begitu tololnya sehingga selalu diremehkan? Apakah perempuan pantas ditindas hanya karena dia tak kuasa melawan? Ah perempuan memang tolol.
Semakin banyaknya jumlah perempuan terlahir di dunia naif ini, semakin membuat Hawa geram, kenapa hal yang begitu ia benci semakin banyak muncul? Apakah ini adil? Ah! Untuk apa bicara keadilan? Tidak akan ada yang mendengar! Apalagi Hawa seorang perempuan. Bukan femininitas yang ia maksud, tapi perempuan. PEREMPUAN.
Bukankah perempuan yang membuat dirinya sendiri dikuasai? Bukankah perempuan yang membuat dirinya sendiri begitu lemah? Bukankah perempuan yang membuat dirinya sendiri begitu kuat? Bukankah perempuan yang membuat dirinya sendiri ditindas? Yah... oleh laki-laki, oleh perempuan lain, oleh keluarganya, oleh dirinya sendiri. Ah perempuan memang tolol.
Hawa tak bisa protes. Hawa cuma bisa menjalani hidup sebagai makhluk yang dinamakan perempuan, yang begitu ia benci. Apalagi namanya. Hawa merasa lemah. Hawa merasa kuat. Hawa merasa tolol.
Hawa memang masih muda, baru saja selesai kuliah. Perusahaan-perusahaan yang menerima pekerja di bidangnya mayoritas mencari laki-laki. Hawa hanya bisa nyengir sendiri. Padahal mayoritas (yang mau dan bisa kerja) adalah perempuan. Heeeghhhh... dunia tidak menerima realita. Dunia naif. Ah sialan! Akhirnya sekarang Hawa kerja di bidang yang bukan bidang yang dia ambil waktu kuliah dulu. Untungnya, Hawa sedikit banyak menyukai pekerjaannya. Karena memang bidang kuliahnya bukan sesuatu yang dia inginkan. Dia hanya perempuan. Bahkan pekerjaannya pun diprotes, seorang perempuan, ibunya sendiri. Mau apa lagi? Mau apa lagi?
Apa dunia sudah begitu membedakan laki-laki dan perempuan? Apakah sah-sah saja bila laki-laki bebas memilih, sementara perempuan tidak? Apakah sah-sah saja bila laki-laki bebas meninggalkan perempuan, sementara perempuan tidak? Apakah sah-sah saja bila laki-laki punya istri banyak, sementara perempuan tidak? Apakah sah-sah saja bila laki-laki bercinta dengan banyak perempuan sebelum menikah, sementara perempuan tidak?
Sebenarnya apa yang membuat ini semua terjadi? Sudah tentu agama mendukung kejadian ini. Tapi apakah terjadi semua ini gara-gara agama? Ah, tentu saja tidak. Terlalu naif rasanya. Apakah gara-gara perempuan? Tidak juga. Laki-laki? Tidak. Lalu apa? Lalu apa?
Yang jelas laki-laki bebas melakukan apa yang dia mau. Sementara perempuan tidak. Karena perempuan memang tolol. Itu saja.
Perempuan bahkan tidak mau mengerti sesama jenisnya, perempuan tidak mau mengerti perempuan, bahkan dengan ikatan darah pun, anak perempuan dan ibunya, ibu dan anak perempuannya. Padahal mereka sama-sama perempuan, kenapa mereka tidak bisa mengerti satu sama lain? Sementara laki-laki? Ah!
Hawa tidak berpakaian seperti laki-laki, Hawa juga jarang berpakaian seperti perempuan. Hawa bukan seorang yang feminin, dia juga tidak terlalu maskulin. Hawa adalah Hawa. Pembenci perempuan yang perempuan. Hawa tidak membenci laki-laki sebesar dia membenci perempuan, tapi juga dia tidak tertarik kepada laki-laki, hanya karena dia perempuan. Kalau bisa memilih dia pasti akan mencintai laki-laki, kalau dia adalah laki-laki. Tapi dia perempuan, dia tidak bisa mencintai laki-laki karena dia tidak tertarik, dia perempuan.
Apakah hanya karena perempuan punya vagina dan laki-laki punya penis? Vagina... lembut, lembek, lubang, menerima, ditusuk. Penis... keras, kokoh, menjulang, memaksa, superior, menusuk. Logika falus, sudah sewajarnya, sudah sepantasnya, sudah kodratnya.
Hawa bingung, manusia macam apa dia sebenarnya? Telah jauh melenceng dari kodratnya. Padahal dia perempuan, dia seharusnya menerima, bukan membenci, dia seharusnya masih perawan sebelum menikah, dia seharusnya menikah dan punya anak, dia seharusnya bisa mencintai suaminya, dia seharusnya mau bersetubuh dengan suaminya. Dia justru tidak mau, hanya karena dia perempuan.
"Kamu akan saya nikahkan dengan seseorang yang sudah bapakmu siapkan," ibunya berkata padanya suatu hari. Dalam hati Hawa nyengir. Hawa memang tidak tertarik pada laki-laki tapi dia harus juga menikah dengan salah satu kaum itu, hanya karena dia perempuan. Kalau perempuan sudah tua dan masih perawan, kasihan kata dunia. Tapi kalau laki-laki sudah tua dan masih perjaka, apa ada? Perempuan, masih perawan dicemooh, sudah tidak perawan, apalagi...
Sebenarnya Hawa tidak mau menikah, Hawa tidak mau punya anak, Hawa tidak mau seks dengan laki-laki. Karena Hawa perempuan. Kalau Hawa laki-laki, lain lagi urusannya, dia akan mencintai laki-laki, mungkin dia akan mau menikah dengan salah satu dari kaum laki-laki, tapi tetap Hawa tidak mau anak, lagipula memang itu tidak akan terjadi karena dia hanya bersetubuh dengan laki-laki. Cocok. Pas sekali. Tapi Hawa perempuan. Hawa tidak bisa mencintai laki-laki, tidak mau bersetubuh dengan laki-laki, tidak mau menikah, dan punya anak. Itulah mengapa Hawa benci sekali perempuan, dirinya sendiri.
Begitulah, Hawa menikah dengan laki-laki yang dipilihkan untuknya. Apa yang bisa dilakukan Hawa selain menerima? Dia tak kuasa menolak. Toh, dia perempuan. Perempuan tidak boleh lama-lama perawan, nanti tidak bisa punya anak. Perempuan juga tidak boleh terlalu cepat kehilangan keperawanan, nanti punya anak di luar nikah. Protes yang dilakukan Hawa, adalah keputusan yang dia buat, dia tidak akan mau bersetubuh dengan suaminya selama dia masih perempuan. Apakah Hawa bilang itu semua kepada suaminya? Tentu saja tidak, suaminya baru dia kenal tiga hari sebelum nikah. Suaminya laki-laki baik-baik (katanya), suaminya dipilihkan orangtuanya, pastilah dia baik (katanya), tapi dia tetap laki-laki. Namun apa yang terjadi? Tentulah suaminya memperkosanya, pada malam pertama. Hawa memang hanya bisa menerimanya. Karena Hawa perempuan. Kalau dia laki-laki, tentulah dia yang memperkosa suaminya. Logika falus.
Banyak hal memang, yang tidak dia beritahu pada suaminya, pada keluarganya. Hawa, sebagai perempuan, sangat membenci perempuan, sangat membenci dirinya sendiri selama dia masih perempuan, sangat membenci namanya yang semakin melemahkan, tidak pernah bisa mencintai laki-laki selama dia masih perempuan, tidak akan mau punya anak. Tapi apa yang terjadi? Tentulah suaminya, keluarganya, menuntut Hawa punya anak. Toh, dia seorang perempuan. Apalah lagi gunanya perempuan selain jadi pabrik anak? Hawa jadi semakin benci perempuan, semakin benci dirinya sendiri.
Tapi satu hal yang bikin Hawa senyum di dalam rumah tangganya yang hambar, adalah kenyataan bahwa dia telah melakukan tubektomi sebelum nikah. Dia tertawa sendiri kadang-kadang karena tidak ada yang tahu. Satu protes yang terwujud. Satu perwujudan cita-citanya tidak akan punya anak.
Jelas Hawa tidak punya anak. Jelas suaminya main perempuan lain. Jelas suaminya meninggalkannya. Jelas suaminya orang baik-baik. Laki-laki baik-baik.
Hawa bernafas lega dan menghirup sedikit kebahagiaan dan kebebasan karena suaminya meninggalkannya. Itu sedikit, karena dia masih perempuan. Perempuan, menjanda. Janda... ditinggal suami karena tidak punya anak. Perempuan yang tidak berguna. Perempuan... Tapi Hawa diam-diam senang, dengan begitu pasti tidak akan ada laki-laki yang mendekatinya lagi. Hawa tak peduli banyak cemoohan dari sana-sini. Semua dia terima, karena dia tidak punya pilihan, dia masih perempuan.
Kalau aku bisa memilih, aku ingin dilahirkan sebagai laki-laki. Aku ingin punya penis. Dengan penisku aku hanya akan mau bersetubuh dengan laki-laki...
5 April 2006
22.06
Terinspirasi dari ‘Logika Falus’ kumpulan cerpen Tommy F. Awuy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H