Sebenarnya Hawa tidak mau menikah, Hawa tidak mau punya anak, Hawa tidak mau seks dengan laki-laki. Karena Hawa perempuan. Kalau Hawa laki-laki, lain lagi urusannya, dia akan mencintai laki-laki, mungkin dia akan mau menikah dengan salah satu dari kaum laki-laki, tapi tetap Hawa tidak mau anak, lagipula memang itu tidak akan terjadi karena dia hanya bersetubuh dengan laki-laki. Cocok. Pas sekali. Tapi Hawa perempuan. Hawa tidak bisa mencintai laki-laki, tidak mau bersetubuh dengan laki-laki, tidak mau menikah, dan punya anak. Itulah mengapa Hawa benci sekali perempuan, dirinya sendiri.
Begitulah, Hawa menikah dengan laki-laki yang dipilihkan untuknya. Apa yang bisa dilakukan Hawa selain menerima? Dia tak kuasa menolak. Toh, dia perempuan. Perempuan tidak boleh lama-lama perawan, nanti tidak bisa punya anak. Perempuan juga tidak boleh terlalu cepat kehilangan keperawanan, nanti punya anak di luar nikah. Protes yang dilakukan Hawa, adalah keputusan yang dia buat, dia tidak akan mau bersetubuh dengan suaminya selama dia masih perempuan. Apakah Hawa bilang itu semua kepada suaminya? Tentu saja tidak, suaminya baru dia kenal tiga hari sebelum nikah. Suaminya laki-laki baik-baik (katanya), suaminya dipilihkan orangtuanya, pastilah dia baik (katanya), tapi dia tetap laki-laki. Namun apa yang terjadi? Tentulah suaminya memperkosanya, pada malam pertama. Hawa memang hanya bisa menerimanya. Karena Hawa perempuan. Kalau dia laki-laki, tentulah dia yang memperkosa suaminya. Logika falus.
Banyak hal memang, yang tidak dia beritahu pada suaminya, pada keluarganya. Hawa, sebagai perempuan, sangat membenci perempuan, sangat membenci dirinya sendiri selama dia masih perempuan, sangat membenci namanya yang semakin melemahkan, tidak pernah bisa mencintai laki-laki selama dia masih perempuan, tidak akan mau punya anak. Tapi apa yang terjadi? Tentulah suaminya, keluarganya, menuntut Hawa punya anak. Toh, dia seorang perempuan. Apalah lagi gunanya perempuan selain jadi pabrik anak? Hawa jadi semakin benci perempuan, semakin benci dirinya sendiri.
Tapi satu hal yang bikin Hawa senyum di dalam rumah tangganya yang hambar, adalah kenyataan bahwa dia telah melakukan tubektomi sebelum nikah. Dia tertawa sendiri kadang-kadang karena tidak ada yang tahu. Satu protes yang terwujud. Satu perwujudan cita-citanya tidak akan punya anak.
Jelas Hawa tidak punya anak. Jelas suaminya main perempuan lain. Jelas suaminya meninggalkannya. Jelas suaminya orang baik-baik. Laki-laki baik-baik.
Hawa bernafas lega dan menghirup sedikit kebahagiaan dan kebebasan karena suaminya meninggalkannya. Itu sedikit, karena dia masih perempuan. Perempuan, menjanda. Janda... ditinggal suami karena tidak punya anak. Perempuan yang tidak berguna. Perempuan... Tapi Hawa diam-diam senang, dengan begitu pasti tidak akan ada laki-laki yang mendekatinya lagi. Hawa tak peduli banyak cemoohan dari sana-sini. Semua dia terima, karena dia tidak punya pilihan, dia masih perempuan.
Kalau aku bisa memilih, aku ingin dilahirkan sebagai laki-laki. Aku ingin punya penis. Dengan penisku aku hanya akan mau bersetubuh dengan laki-laki...
5 April 2006
22.06
Terinspirasi dari ‘Logika Falus’ kumpulan cerpen Tommy F. Awuy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H