Di sebuah pulau yang merayakan sepi, di sebuah negeri yang penuh sejarah dosa, Dania hening, ikut merayakan. Tapi seperti juga sekitar empat juta lebih penghuni pulau, Dania tetap mendapat internet. Dengan begitu, jika bosan hening, dia kan mengetuk-ngetuk layar HP-nya dan melihat-lihat keluar sana, di dalam genggamannya.
Masih saja dia melihat berita tentang sebuah jalur negeri Semangka di timur tengah planet, yang rakyatnya dihabisi negeri Bintang Biru demi teritori, demi penjualan senjata, demi dendam kesumat, demi takdir Tuhan masa lalu, takdir yang dibuat-buat manusia, demi apa pun, jika tidak demi manusia pembantai, pemenang sejarah, pemenang doa, pemenang dosa, pemenang Tuhan mereka sekaligus pemenang setan kaum yang lain. "Sejarah berulang," Dania menggumam dengan mata sayu sambil menggeser berita dengan jarinya. Kini dia menemukan hal yang lucu di layar HP-nya, tentang negerinya sendiri, negeri Darah Tulang, di mana pulau peraya sepi adalah salah satu provinsi.
Sebuah pidato mengecam negeri Bintang Biru disampaikan oleh menteri luar negeri Darah Tulang, diperdengarkan dengan lantangnya di sebuah forum gabungan negeri-negeri, dari timur sampai barat, utara sampai selatan planet. Intinya, mengecam agresi negeri Bintang Biru terhadap negeri Semangka, yang keduanya berjarak hampir sembilan ribu kilometer dari negeri Darah Tulang, sekitar nyaris sembilan belas jam penerbangan non-stop.Â
Sebenarnya pidatonya tidak lucu, penuh kecaman terhadap pembantaian warga sipil, laki-laki, perempuan, tua, muda, kanak-kanak, bayi. Sama sekali tidak lucu. Dan sudah sewajarnya sebagai manusia berperikemanusiaan hal-hal dalam pidato itu diungkapkan lantang. Yang lucu adalah berita selanjutnya yang muncul di bawah jari Dania. Lucu bukan berarti lucu, tapi berarti janggal. Mungkin begitu?
Berita di bawah jari Dania adalah tentang ratusan anak mati kelaparan di pulau Merak, sebuah pulau yang juga salah satu provinsi di negeri Dania tinggal, negeri Darah Tulang. Konon sejak puluhan tahun lalu, tak lama setelah kemerdekaan negeri Darah Tulang, pulau Merak 'dipaksa' bergabung ke dalam teritorinya, dengan agresi, pembantaian dan perkosaan tentunya. Rakyat pulau memberontak, menolak agresi negeri Darah Tulang. Sejak saat itu hingga sekarang, negeri Darah Tulang telah membunuh lebih dari tiga ratus ribu rakyat sipil pulau Merak, laki-laki, perempuan, tua-muda, kanak-kanak, bayi. Pembunuhan yang masih saja berlangsung, karena kini mereka juga telah dibuat mati kelaparan.Â
Pembantaian manusia oleh manusia lain, di negeri yang sama yang berpidato mengecam pembantaian di negeri lain, yang sekitar sembilan ribu kilometer jauhnya, ternyata telah dan sedang melakukannya di negeri sendiri. Lagi-lagi demi teritori, demi penjualan senjata, demi kekayaan pihak yang menang, pemenang sejarah, pemenang dosa, pemenang doa, pemenang Tuhan mereka sekaligus pemenang setan bagi kaum yang lain, kaum yang ditindas. Lantas lucunya di mana? Lucunya adalah ketika "maling teriak maling", bukan lagi sekadar peribahasa, tapi peristiwa internasional.
Dania bergidik sendiri dalam keheningan hari favoritnya itu. Dia berandai-andai menjadi menteri luar negeri. Dan ia berkhayal paling tidak ia akan hening saja dalam perhelatan sekelas planet itu, karena walau pun ia mengurusi urusan luar negeri, ia tidak mungkin lupa yang terjadi di dalam negeri. Dan keheningan dalam forum akan tetap menjadi putusannya, walau ia tentu saja mengecam segala bentuk penindasan. Karena apabila dia berpidato lantang mengecam kekejaman negeri lain di forum tingkat planet, apa yang dia jawab bila seseorang bertanya, "Bagaimana dengan pulau Merak?"
Entahlah, untung Dania bukan seorang menteri, dia hanya seorang minoritas dari minoritas, seorang perempuan hampir paruh baya yang tak bertuhan di negeri yang merasa paling bertuhan.
Jarinya menggeser-geser bosan, hatinya masih sesak dengan berita-berita dalam dan luar negerinya yang terbaca di layar perangkat. Beberapa video rakyat negerinya yang berjoget-joget lucu tak menghibur hatinya. Video-video tentang makanan-makanan sedap di warung-warung sekitarnya malah mengiris hatinya. Di hari-hari biasa ia sungguh menggemari berjam-jam melihat video-video ulasan makanan di layar HP-nya. Tapi di satu hari favoritnya dalam setahun itu, ia sudah hilang mood.
Senja sebentar lagi datang, kelam akan melingkupi pulau, segenapnya akan hitam. Dan jika tidak mendung, keadaan akan seperti berbalik, seluruh kota akan seperti berada di langit, kerlip bintang-bintang seumpama lampu dan daratan pulau yang hitam sebagai langitnya. Namun sayang, hari ini hujan turun, tak bakal terlihat nyala konstelasi seperti hari Nyepi tahun lalu. Awan mendung akan membuat semuanya gelap, tak langit, tak bumi. Semua akan hitam. Sudah pasti setan-setan akan terkecoh. Di langit pulau mereka kegelapan, apalagi di buminya. Namun sayang, Dania tidak percaya setan-setan apalagi Tuhan.
Namun sayang, manusia pulau yang percaya setan-setan, sekitar empat juta jumlahnya, masih tersambung ke internet. Dalam kebosanan di keheningan hari Nyepi, dalam gelap, mereka mengangkat layar HP ke depan muka masing-masing, melihat ke luar sana pada perangkat yang menjadi sumber cahaya di dalam gelap kamar dalam rumah masing-masing di seluruh pulau.