0 Advanced issues found▲
SUNGGUH berat penderitaan yang sudah dijalani, Suhardi. Hampir enam tahun lamanya, ia terpenjara di dalam gubuk.
Bukan disekap atau dipasung. Ia hanya mengidap penyakit kulit.
Sakit? Tidak. Ia sehat-sehat saja.
Ia bisa makan juga minum seperti kondisi orang sehat pada umumnya. Hanya saja, penyakit kulit itu yang membuatnya tampak sakit. Padahal, tidak.
Tetapi, andaikan ia tidak segera ditangani. Bisa saja, pemuda yang baru berusia 21 tahun itu tewas. Beruntung, ia bisa menghubungi Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan di istagramnya kala itu, sehingga ia bisa dirawat.
Syukur. Bukan sembarang orang yang merawatnya. Ada perawat spesial penyakit kulit yang sudah lama mengabdikan hidupnya di RSUD Syekh Yusuf, Gowa, Sulawesi Selatan.
Orangnya cantik juga Imut. Baik hati. Namanya, DR. Dr. Muji Iswanty, SH,MH,SpKK, M.Kes. Kata Suhardi, orangnya baik hati. Bahkan siap menjaganya. Menjaminnya. Atas semua kebutuhannya selama dirawat.
Namun, tulisan ini tidak untuk membahas siapa dokter cantik itu. Siapa Adnan Purichta Ichsan itu. Namun, bagaimana Suhardi menjalani hidup. Bertahan hidup melawan penyakit kulit itu.
Sebab, derita Suhardi sungguh diluar akal sehat. Ia mampu bertahan hidup di dalam gubuk selama enam tahun dengan gatal yang menjalar setiap waktu. Setiap detik. Tanpa ampun.
Belum lagi, gubuk peninggalan neneknya, almarhumah Dg Nari (90) itu. Yang meninggal pada 2013 silam itu kondisi dinding papannya sudah rapuh juga atap seng yang sudah bolong-bolong.
Sebenarnya, kata pemuda kelahiran Gowa di Kampung Palompong, Dusun Pabbentengan, Bajeng itu, ia pernah putus asa. Nyaris bunuh diri. Beruntung masih punya sedikit iman. "Bunuh diri itu dosa," katanya, Mei 2019 lalu saat dijumpai di rumahnya.
Kata Suhardi, kala itu ia tak kuasa menahan pedih. Apalagi menjadi beban kakak kandungnya, Risal. Ia mengaku, malu. Harus dirawat hampir enam tahun lamanya oleh kakaknya itu.
Sementara, ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tak bisa kemana-mana lagi. Belum lagi, tangan dan kaki nyaris lumpuh. Tak bisa digerakkan sama sekali.
"Bisa sebenarnya, tetapi harus saya dipaksakan," ujarnya.
Berpindah tempat beberapa meter pun demikian. Ia mengaku saja harus ngesot. Apalagi, bila diminta bekerja mencari uang. Pasti sudah tak bisa.
"Pedih rasanya," kenang Suhardi.
Namun mau diapa. Kata Suhardi dalam kurung enam tahun itu hampir tak ada orang yang bisa merawatnya. Selain Risal, kakak kandungnya itu.
Tetangganya? Sudah jelas juga tak bisa. Mereka saja susah. Apalagi, jika diminta tolong.
Semakin getir. Kala keputusasaan hidup Suhardi semakin menggila. Masih gara-gara penyakit kulit itu. Karena, kian hari kian gatal. Gatalnya, nyaris tak tertahan.
"Ya. Pasrah saja. Pasrah, dan pasrah. Karena kalau digaruk malah semakin gatal. Gatalnya, disekujur tubuh. Air mata biasa keluar tak tertahan," kenangnya, pilu.
Penyiksaan semakin berlipat. Kala dalam gubuk yang ia sebut rumah itu, kedua orang tuanya sudah tak ada lagi. Ia hanya berdua dengan kakak kandungnya, Risal.
"Di rumah yang tinggal hanya saya dan kakak (Risal) Ibu telah tiada. Ayah, tak tahu dimana. Ayah sudah lama meninggalkan kami. Bahkan sudah nikah lagi," kenangnya lagi, saat dijumpai di rumahnya, kemarin.
Yah. Lagi-lagi beruntung, kata Suhardi, masih ada rumah panggung peninggalan nenek yang bisa mereka tempati berteduh.
Meski itu sudah reyok. Dindingnya sudah lobang sana sini. Tetapi setidaknya, ia dan kakaknya tidak menjadi penduduk nomaden.
"Sebenarnya, ibu sudah tiada sejak saya masih kelas dua SD dan setelah itu. Kakak (Risal) kelas 5 SD. Ayah? Pergi. Setelah kawin lagi. Kami, hanya dirawat nenek," ucapnya, dengan suara sedikit tertahan.
Berusaha tersenyum, Suhardi, kembali menceritakan riwayat penyakit kulitnya itu. Katanya, penyakit ini awalnya muncul di bagian telinga. Saat itu usianya baru lima tahun.
Memang sudah gatal saat pertama kali timbul disekitar telinga kanannya itu. Tetapi, ia tak tahu penyakit apa itu. Ia kala itu acuh saja.
Berganti tahun, penyakit kulit itu mulai menyebar ke matanya. Tetapi hanya dipinggir saja. Tak sampai menutupi bola matanya. Tetapi sudah gatal.
Pastinya umur berapa, ia mengaku, tak ingat. Namun yang pasti katanya ia masih SD. "Dari mata berlahan turun di leher. Sudah tamat SD saat itu. Sudah gatal. Sangat gatal. Tetapi saya masih bisa bekerja," bebernya.
Tamat SD, sembari bekerja semrawutan. Tak melanjutkan sekolahnya karena tak ada biaya. Penyakit kulit itu, kian menjalar. Perlahan, menyerang kedua tangannya.
Namun, lagi-lagi ia tak tahu harus bagaimana. Ia berusaha saja mencoba bertahan dari gatal itu. Ia juga takut ke dokter atau puskesmas.
"Kartu keluarga saja kami tak ada. Apalagi BPJS." KIS? "Kartu Indonesia Sehat, kami juga tak kebagian."
Bantuan sembako?
"Sama. Sekali pun kami tak pernah merasakan itu. Yah, jadinya kalau tak beli beras. Mau makan apa?" ucapnya, sedih tak tertahan.
"Bu dokter baik. Lama saya dirawatnya. Andai tidak ada dia. Mungkin saya sudah tak bisa berjalan lagi. Berdiri lagi," sanjungnya, sembari komat kamit seakan mengucap doa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H