Kata Suhardi, kala itu ia tak kuasa menahan pedih. Apalagi menjadi beban kakak kandungnya, Risal. Ia mengaku, malu. Harus dirawat hampir enam tahun lamanya oleh kakaknya itu.
Sementara, ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tak bisa kemana-mana lagi. Belum lagi, tangan dan kaki nyaris lumpuh. Tak bisa digerakkan sama sekali.
"Bisa sebenarnya, tetapi harus saya dipaksakan," ujarnya.
Berpindah tempat beberapa meter pun demikian. Ia mengaku saja harus ngesot. Apalagi, bila diminta bekerja mencari uang. Pasti sudah tak bisa.
"Pedih rasanya," kenang Suhardi.
Namun mau diapa. Kata Suhardi dalam kurung enam tahun itu hampir tak ada orang yang bisa merawatnya. Selain Risal, kakak kandungnya itu.
Tetangganya? Sudah jelas juga tak bisa. Mereka saja susah. Apalagi, jika diminta tolong.
Semakin getir. Kala keputusasaan hidup Suhardi semakin menggila. Masih gara-gara penyakit kulit itu. Karena, kian hari kian gatal. Gatalnya, nyaris tak tertahan.
"Ya. Pasrah saja. Pasrah, dan pasrah. Karena kalau digaruk malah semakin gatal. Gatalnya, disekujur tubuh. Air mata biasa keluar tak tertahan," kenangnya, pilu.
Penyiksaan semakin berlipat. Kala dalam gubuk yang ia sebut rumah itu, kedua orang tuanya sudah tak ada lagi. Ia hanya berdua dengan kakak kandungnya, Risal.