"Di rumah yang tinggal hanya saya dan kakak (Risal) Ibu telah tiada. Ayah, tak tahu dimana. Ayah sudah lama meninggalkan kami. Bahkan sudah nikah lagi," kenangnya lagi, saat dijumpai di rumahnya, kemarin.
Yah. Lagi-lagi beruntung, kata Suhardi, masih ada rumah panggung peninggalan nenek yang bisa mereka tempati berteduh.
Meski itu sudah reyok. Dindingnya sudah lobang sana sini. Tetapi setidaknya, ia dan kakaknya tidak menjadi penduduk nomaden.
"Sebenarnya, ibu sudah tiada sejak saya masih kelas dua SD dan setelah itu. Kakak (Risal) kelas 5 SD. Ayah? Pergi. Setelah kawin lagi. Kami, hanya dirawat nenek," ucapnya, dengan suara sedikit tertahan.
Berusaha tersenyum, Suhardi, kembali menceritakan riwayat penyakit kulitnya itu. Katanya, penyakit ini awalnya muncul di bagian telinga. Saat itu usianya baru lima tahun.
Memang sudah gatal saat pertama kali timbul disekitar telinga kanannya itu. Tetapi, ia tak tahu penyakit apa itu. Ia kala itu acuh saja.
Berganti tahun, penyakit kulit itu mulai menyebar ke matanya. Tetapi hanya dipinggir saja. Tak sampai menutupi bola matanya. Tetapi sudah gatal.
Pastinya umur berapa, ia mengaku, tak ingat. Namun yang pasti katanya ia masih SD. "Dari mata berlahan turun di leher. Sudah tamat SD saat itu. Sudah gatal. Sangat gatal. Tetapi saya masih bisa bekerja," bebernya.
Tamat SD, sembari bekerja semrawutan. Tak melanjutkan sekolahnya karena tak ada biaya. Penyakit kulit itu, kian menjalar. Perlahan, menyerang kedua tangannya.
Namun, lagi-lagi ia tak tahu harus bagaimana. Ia berusaha saja mencoba bertahan dari gatal itu. Ia juga takut ke dokter atau puskesmas.
"Kartu keluarga saja kami tak ada. Apalagi BPJS." KIS? "Kartu Indonesia Sehat, kami juga tak kebagian."