Anjloknya harga minyak dunia memukul perusahaan minyak di berbagai negara, tak terkecuali Petroliam Nasional Bhd (Petronas). Perusahaan yang pada 2014 masuk daftar Fortune 500 tersebut mengalami kerugian sedikitnya Rp 2 triliun tahun lalu.
Alhasil, perusahaan minyak terbesar nomor 20 di dunia itu terpaksa melakukan efisiensi. Mulai dari memotong gaji pegawai, memangkas setoran rutin ke pemerintah, hingga mengurangi jumlah karyawan.
Itu baru faktor eksternal. Belum lagi masalah politik Malaysia yang secara tak langsung ikut memengaruhi kinerja Petronas. Perseteruan dua politisi senior Malaysia, PM Najib Razak dan mantan PM Mahathir Muhammad, secara tak langsung ikut mengguncang Petronas.
Pada Maret 2016 Tun Mahathir memproklamasikan perlawanan politiknya terhadap pemerintahan yang sah. Seluruh kabinet pemerintahan PM Najib membalas dengan bersepakat memecat Mahathir dari posisinya sebagai anggota dewan penasihat Petronas.
Tak tinggal diam, Mahathir membalas dengan mengajukan tuntutan ke pengadilan Malaysia atas dugaan korupsi PM Najib yang merugikan negara hingga ratusan juta dolar AS.
Fokus Penyelamatan
Banyak pihak menilai, dengan keluarnya Mahathir dari Petronas, seluruh petinggi perusahaan akan bisa lebih fokus pada usaha penyelamatan di tengah kondisi penuh turbulensi seperti sekarang. Aksi korporasi berupa kebijakan efisiensi besar-besaran dinilai akan membantu Petronas melepaskan diri dari beban keuangan bernuansa politis.
Apakah mungkin perusahaan minyak nomor 20 terbesar di dunia memiliki persoalan seperti itu? Bila merunut satu dekade ke belakang, Petronas memang sering masuk dalam sorotan media karena dugaan kasus korupsi dan kolusi.
Menariknya, selama periode itu beberapa skandal di Petronas justru berkaitan dengan sepak terjang putra-putra Mahathir. Pada 2006, Mokhzani Mahathir dituduh melakukan kolusi atas salah satu proyek Petronas dengan rekomendasi dari sang ayah, mengusung bendera Kencana Petroleum Bhd.
Walaupun saat itu Mokhzani menyangkal terlibat dalam kolusi dalam tender Kencana Bhd, hasil penyelidikan memperlihatkan bahwa hampir separuh dari pendapatan pada tahun fiskal 2006 didapat dari Petronas. Mokhzani mengeluarkan pernyataan, perusahaan engineering miliknya itu tetap harus mengikuti tender terbuka dan transparan, tanpa ada surat sakti dari sang ayah.
Namun, publik Malaysia tak percaya. Apalagi beredar rumor bahwa putra Mahathir mendapat untung besar karena berhasil mengegolkan sebuah proyek dari Petronas bernilai 15 kali lipat dari harga wajar di pasaran.
Opini publik pun kian menguat ketika salah seorang tokoh oposisi bernama Syed Husin Ali memberikan pernyataan kepada media bahwa Petronas masih belum bisa lepas dari bayang-bayang Mahathir. Yang paling kentara, perusahaan belum mampu meningkatkan transparansi keuangan.
Petronas dianggap tidak akuntabel dalam laporan pembelanjaan, termasuk menyelamatkan anak perusahaan yang sakit. Setelah ditelisik lebih jauh, perusahaan-perusahaan tersebut milik kroni dan anak Mahathir sendiri.
Mari cermati skandal perusahaan perkapalan milik Mirzan Mahathir, 1998. Petronas membeli surat utang perusahaan perkapalan tersebut dengan nilai RM 226 juta. Dalam prospektusnya, perusahaan mencantumkan utang sebesar RM 324 juta. Namun, berdasarkan penyelidikan media Far East Economic Review, nilai utang perusahaan mencapai RM 1,6 miliar.
Dari dua peristiwa itu publik Malaysia kian bertambah keyakinan atas dugaan pemberian fasilitas istimewa kepada putra-putra Mahathir di proyek-proyek Petronas.
Aksi Bersih-Bersih
Apakah dengan keluarnya Mahathir sebagai salah satu anggota dewan penasihat membuat Petronas akan terbebas dari segala kepentingan politis? Tak ada yang berani menjamin. Namun, bila melihat aksi korporasi lanjutan dari perusahaan itu, aura optimisme menyeruak.
Lihat saja kebijakan dewan pimpinan perusahaan yang bersepakat melakukan pemotongan setoran deviden rutin kepada negara. Bila pada 2015 Petronas mampu menyetor deviden hingga RM 26 miliar kepada negara, pada November nanti dibebani RM 16 miliar.
Sebelumnya, pada pertengahan Januari 2016, Petronas mengumumkan kebijakan pemotongan gaji, mulai dari 20 hingga 30 persen. Petronas juga merestrukturisasi pegawai dengan memutus seluruh staf kontrak yang berjumlah ribuan orang.
Petronas secara bertahap memangkas belanja modal dan belanja operasi untuk empat tahun ke depan sekitar RM 50 miliar atau setara US$ 11,42 miliar dengan asumsi kurs RM 4,377 per US$ 1. Tahun ini direncanakan nilai pemangkasan mencapai sedikitnya RM 15 miliar atau setara US$ 3 miliar.
Di tingkat eksekutif, manajemen Petronas bersepakat untuk tidak menaikkan gaji dan memberikan bonus kepada eksekutifnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H