UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban: UU ini mengatur hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan fisik, bantuan hukum, dan layanan psikososial. Namun, di lapangan masih sering ditemukan kendala, seperti keterbatasan akses layanan tersebut di daerah terpencil.
Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Seksual (Komnas Perempuan): Komnas Perempuan membantu menangani kasus kekerasan berbasis gender dengan memberikan layanan pendampingan hukum dan konseling kepada korban. Meski demikian, keterbatasan sumber daya sering menjadi kendala dalam menyediakan layanan yang optimal di seluruh wilayah Indonesia.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Walau belum disahkan, RUU ini diharapkan bisa memperbaiki celah-celah yang belum tercakup dalam undang-undang sebelumnya, terutama dalam hal pendampingan hukum untuk korban kekerasan seksual dan penjaminan keadilan yang lebih setara bagi korban dan pelaku.
Contoh kasus yang menggambarkan perlindungan ini dapat dilihat pada beberapa korban kekerasan dalam rumah tangga yang mendapat pendampingan hukum hingga kasusnya selesai, meski harus melalui perjuangan panjang. Sayangnya, kasus seperti ini masih sering terkendala oleh stigma sosial dan bias dari aparat penegak hukum.
4. Tantangan dan Harapan ke Depan dalam Perlindungan Hak-Hak Korban
Ada beberapa tantangan besar dalam menerapkan perlindungan maksimal bagi korban, antara lain:
Stigma Sosial dan Mentalitas Korban-Blaming: Dalam kasus kekerasan berbasis gender, korban sering kali disalahkan atau dianggap bertanggung jawab atas kejadian yang mereka alami. Hal ini membuat korban enggan melapor dan bahkan takut mendapat cemoohan dari masyarakat. Maka dari itu, edukasi publik sangat penting untuk mengubah pola pikir ini dan menciptakan budaya yang mendukung korban.
Keterbatasan Pelatihan dan Sensitivitas Aparat Penegak Hukum: Peran aparat sangat penting dalam memastikan korban diperlakukan dengan hormat dan aman. Namun, di banyak kasus, korban merasa bahwa aparat kurang sensitif dan cenderung meremehkan laporan mereka. Pelatihan khusus bagi aparat dalam menangani korban adalah langkah yang harus diperhatikan dalam meningkatkan perlindungan ini.
Akses Layanan yang Tidak Merata: Layanan bagi korban, seperti bantuan psikologis atau hukum, sering kali lebih mudah diakses di kota besar dibandingkan di daerah terpencil. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam perlindungan korban yang membutuhkan akses cepat dan efisien untuk pemulihan mereka. Harapan ke depan adalah adanya pemerataan layanan di seluruh wilayah Indonesia agar semua korban dapat memperoleh perlindungan yang setara.
Kesimpulan
Di era modern ini, viktimologi menjadi kajian yang semakin penting dan harus didukung oleh sistem hukum yang kuat serta masyarakat yang berempati. Kejahatan-kejahatan baru yang muncul, terutama di ranah digital dan kekerasan berbasis gender, membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif dan humanis. Masyarakat perlu diberdayakan untuk mendukung korban, dan sistem hukum harus terus memperkuat peraturan yang berfokus pada pemulihan serta perlindungan korban. Dengan memahami viktimologi, diharapkan keadilan bagi korban tidak hanya menjadi wacana, tetapi dapat benar-benar diwujudkan.