Viktimologi menjadi semakin relevan di era modern karena bentuk kejahatan yang kian beragam dan melibatkan aspek kehidupan yang lebih kompleks, termasuk ruang digital. Seiring meningkatnya kasus kejahatan siber, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kekerasan berbasis gender, kebutuhan untuk memahami posisi dan hak-hak korban menjadi sangat penting. Pemahaman akan viktimologi tidak hanya memberi perspektif baru terhadap peran korban dalam sistem hukum, tetapi juga membantu mengidentifikasi kelemahan dalam perlindungan mereka di Indonesia.
1. Pengertian Viktimologi: Perspektif dan Peranannya dalam Melindungi Korban
Viktimologi adalah studi tentang korban kejahatan yang mencakup bagaimana mereka menjadi target, dampak dari kejahatan yang mereka alami, dan langkah-langkah hukum yang harusnya melindungi mereka. Di balik kejahatan yang terjadi, viktimologi berfokus pada pemulihan korban dari aspek fisik, psikologis, hingga ekonomi, dan bagaimana hukum harus hadir untuk memberikan dukungan penuh.
Di Indonesia, pemahaman viktimologi juga mencakup penyediaan layanan yang mendukung korban seperti bantuan medis, konseling, dan pendampingan hukum. Memahami viktimologi juga membantu masyarakat dan sistem hukum mengenali pola-pola kejahatan yang sering melibatkan korban rentan, seperti perempuan, anak-anak, atau lansia, serta memberi prioritas pada pemulihan mereka.
2. Isu Kontemporer Terkait Korban di Era Digital
Dengan perkembangan teknologi, bentuk-bentuk kejahatan yang dialami korban pun mengalami perubahan. Beberapa isu yang banyak muncul terkait viktimologi di era ini meliputi:
Kejahatan Siber: Kejahatan siber tidak hanya melibatkan kerugian finansial, tetapi juga dampak psikologis pada korban. Contohnya adalah kasus pencurian identitas atau peretasan data pribadi yang menimbulkan tekanan bagi korban karena data mereka disalahgunakan. Pada tahun-tahun terakhir, kasus-kasus ini kerap kali melibatkan peretasan akun media sosial atau penipuan online, di mana korban tidak hanya merasa dirugikan secara materi, tetapi juga merasa terancam privasinya.
Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Berbasis Gender: Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, laporan kasus kekerasan berbasis gender dan KDRT terus meningkat, terutama setelah pandemi. Banyak korban yang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat, tetapi merasa sulit untuk melapor karena ketakutan atau tekanan sosial. Viktimologi dalam konteks ini berperan dalam memberi pemahaman dan pendampingan kepada korban agar mereka merasa aman dan terlindungi ketika melapor atau mencari bantuan.
Cyberbullying: Tidak hanya terjadi pada anak-anak, cyberbullying atau perundungan digital juga menjadi ancaman bagi remaja dan orang dewasa. Dampak psikologis dari cyberbullying sering kali lebih parah karena korban merasa dihakimi atau dihujat secara luas di ruang publik. Masyarakat modern perlu memahami pentingnya empati digital dan peran viktimologi dalam membantu korban pulih dari trauma akibat cyberbullying.
3. Perlindungan dan Hak Korban dalam Sistem Hukum Indonesia
Di Indonesia, beberapa undang-undang telah hadir untuk melindungi hak-hak korban kejahatan. Namun, ada kesenjangan dalam implementasi yang sering kali membuat korban sulit mendapatkan keadilan yang seharusnya. Beberapa instrumen hukum yang ada antara lain:
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban: UU ini mengatur hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan fisik, bantuan hukum, dan layanan psikososial. Namun, di lapangan masih sering ditemukan kendala, seperti keterbatasan akses layanan tersebut di daerah terpencil.
Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Seksual (Komnas Perempuan): Komnas Perempuan membantu menangani kasus kekerasan berbasis gender dengan memberikan layanan pendampingan hukum dan konseling kepada korban. Meski demikian, keterbatasan sumber daya sering menjadi kendala dalam menyediakan layanan yang optimal di seluruh wilayah Indonesia.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Walau belum disahkan, RUU ini diharapkan bisa memperbaiki celah-celah yang belum tercakup dalam undang-undang sebelumnya, terutama dalam hal pendampingan hukum untuk korban kekerasan seksual dan penjaminan keadilan yang lebih setara bagi korban dan pelaku.
Contoh kasus yang menggambarkan perlindungan ini dapat dilihat pada beberapa korban kekerasan dalam rumah tangga yang mendapat pendampingan hukum hingga kasusnya selesai, meski harus melalui perjuangan panjang. Sayangnya, kasus seperti ini masih sering terkendala oleh stigma sosial dan bias dari aparat penegak hukum.
4. Tantangan dan Harapan ke Depan dalam Perlindungan Hak-Hak Korban
Ada beberapa tantangan besar dalam menerapkan perlindungan maksimal bagi korban, antara lain:
Stigma Sosial dan Mentalitas Korban-Blaming: Dalam kasus kekerasan berbasis gender, korban sering kali disalahkan atau dianggap bertanggung jawab atas kejadian yang mereka alami. Hal ini membuat korban enggan melapor dan bahkan takut mendapat cemoohan dari masyarakat. Maka dari itu, edukasi publik sangat penting untuk mengubah pola pikir ini dan menciptakan budaya yang mendukung korban.
Keterbatasan Pelatihan dan Sensitivitas Aparat Penegak Hukum: Peran aparat sangat penting dalam memastikan korban diperlakukan dengan hormat dan aman. Namun, di banyak kasus, korban merasa bahwa aparat kurang sensitif dan cenderung meremehkan laporan mereka. Pelatihan khusus bagi aparat dalam menangani korban adalah langkah yang harus diperhatikan dalam meningkatkan perlindungan ini.
Akses Layanan yang Tidak Merata: Layanan bagi korban, seperti bantuan psikologis atau hukum, sering kali lebih mudah diakses di kota besar dibandingkan di daerah terpencil. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam perlindungan korban yang membutuhkan akses cepat dan efisien untuk pemulihan mereka. Harapan ke depan adalah adanya pemerataan layanan di seluruh wilayah Indonesia agar semua korban dapat memperoleh perlindungan yang setara.
Kesimpulan
Di era modern ini, viktimologi menjadi kajian yang semakin penting dan harus didukung oleh sistem hukum yang kuat serta masyarakat yang berempati. Kejahatan-kejahatan baru yang muncul, terutama di ranah digital dan kekerasan berbasis gender, membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif dan humanis. Masyarakat perlu diberdayakan untuk mendukung korban, dan sistem hukum harus terus memperkuat peraturan yang berfokus pada pemulihan serta perlindungan korban. Dengan memahami viktimologi, diharapkan keadilan bagi korban tidak hanya menjadi wacana, tetapi dapat benar-benar diwujudkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H