Mohon tunggu...
Muhammad Sadam
Muhammad Sadam Mohon Tunggu... Konsultan -

I love competitions—the ones that are open, free, and fair for everyone, and I mean, EVERY ONE | Racists, Sexists & Homophobes... STAY AWAY from my page!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Urusan Negara Tidak Boleh Pakai Aturan Agama, Titik!

14 April 2017   10:05 Diperbarui: 14 April 2017   20:00 3887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika ada pemisahan antara Negara dan Agama, tidak lantas agama akan sirna. Tidak lantas kebebasan beragama akan dikekang. Kebebasan beragama dijamin oleh hukum positif kita. Malah sebaliknya, Hukum Islam menyatakan (baca: mendoktrinkan) hanya Islamlah satu-satunya agama yang benar di mata Tuhan (Ali Imran: 19). Kasihan dong saudara-saudara kita yang non-Muslim kalau Indonesia memakai Hukum Islam dan agama mereka kemudian tidak diakui.

See, sekularisme pada kenyataannya tidak membunuh agama. If anything, pemisahan unsur politik (baca: wewenang pemerintah) untuk ikut campur dalam masalah agama (dan sebaliknya), justru akan semakin menyehatkan jaminan kebebasan beragama yang sudah diatur saat ini. Tidak hanya itu demokrasi kita yang masih muda usianya pun akan semakin sehat.

Mengapa sering ada narasi yang mempertanyakan Islam vs Demokrasi? Karena dalam Demokrasi suara rakyat sama dengan suara Tuhan, figuratively. Sementara dalam Islam, suara rakyat (pemeluk agama) HARUS mengikuti “suara Tuhan” (Al-Qur’an dan Hadits), literally, gak ada tawar-menawar (alias GAK ADA PILIHAN). Hal itu tentu 100% tidak masalah JIKA—DAN HANYA JIKA—seluruh warganya menganut kepercayaan yang sama. Makanya silahkan keep doktrin itu untuk anda sendiri dan kelompok yang kepercayaannya sama dengan anda, tapi BUKAN untuk Negara kita.

Sebab di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, agama dan kepercayaan yang dianut BUKAN hanya satu (BUKAN hanya Islam). Makanya TIDAK BENAR jika hukum kita bersumber dari aturan satu agama. Hukuman Cambuk pertama atas warga non-muslim di Aceh yang terjadi tahun lalu misalnya, adalah bentuk nyata KETIDAKADILAN dari diberlakukannya Hukum Agama itu. Yet we still wonder why so many people have less faith in religions nowadays, ha!

Foto: riseforindia.com
Foto: riseforindia.com

Kembali Kepada Common Sense Demokrasi

TIDAK ADIL bagi warga non-muslim jika urusan perniagaannya, urusan rumah tangga, hingga urusan dapur, tubuh, dan tempat tidurnya—diatur dengan menggunakan hukum yang bersumber dari ajaran Agama Islam. Demikian pula sebaliknya, warga Muslim tentu saja tidak mau kehidupannya, terutama kehidupan pribadinya, diatur berdasarkan hukum yang sumbernya TIDAK mereka percayai.

Itu bukan propaganda. Itu bukan fake news atau hoax, dan bukan pula penistaan agama. Itu hanyalah sebuah common sense sederhana yang harus anda terima, layaknya anda menerima kenyataan bahwa 1+1=2—TITIK, dan bukan 1+1=2—KOMA, karena kalau 3 nanti di akhirat anda akan masuk neraka!

Makanya kita semua, terutama teman-teman kelompok Islam konservatif, harus kembali kepada akal sehat kita. Bahwa Indonesia itu beragam corak sosialnya. Saya tahu kalian percaya—dan saya juga pernah bahkan mungkin extremely jauh lebih percaya—bahwa Islam adalah yang adil, yang terbaik, and all that. BUT NO. Seberapapun puitisnya narasi keadilan dan kebenaran itu, tidak akan adil dan benar even by nature bagi pemeluk agama/kepercayaan yang lain.

Apa yang adil? Demokrasi kita—bukan Demokrasi Islam (nice try, liberals!), tapi Demokrasi Pancasila. Dimana hukum dan peraturan kenegaraan bersumber dari suara rakyat—semua rakyat Indonesia, BUKAN hanya rakyat muslim Indonesia—yang secara teknis misalnya kita aplikasikan setiap lima tahun sekali (ingat: Demokrasi bukan hanya soal pemilihan pemimpin).

Apakah demokrasi sempurna? HELL NO. Bahkan dalam praktiknya yang kita lihat banyak kecacatan dari proses demokrasi. Bahkan Amerika Serikat yang sudah lebih dari 200 tahun berjalan dengan demokrasi pun bisa melahirkan sosok seperti Trump. Itulah proses demokrasi, hasilnya bisa jadi tidak seperti yang kita inginkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun