Mohon tunggu...
Adam Perdana
Adam Perdana Mohon Tunggu... lainnya -

Saya menulis, maka saya Eksis. www.facebook.com/AdamPerdana007

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Cerpen] Impianku Jadi Wartawan

30 Mei 2016   16:55 Diperbarui: 30 Mei 2016   17:43 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Herge sang pencipta Tintin mungkin adalah salah satu orang yang membuatku tergila-gila jadi wartawan. Aku masih ingat, waktu SMP terkikik-kikik menahan tawa di ruang anak di perpustakaan kota, melihat Kapten Haddock membabi-buta di Gurun Sahara hanya karena botol minumannya ditembak musuh. Di lain episode Aku begitu tersentuh melihat bulan yang begitu indah digambarkan Herge, ketika Tintin dan teman-temannya bertualang ke luar angkasa.

Beranjak SMA, momen penting yang memupuk asa-ku jadi wartawan adalah waktu ikut pelatihan jurnalistik yang diadakan koran lokal di kotaku. Dalam sertifikat yang kudapat setelah pelatihan itu, dinyatakan bahwa Aku sudah mengikuti pelatihan jurnalistik sebanyak 16 kali pertemuan dengan hasil 'Baik'. Ada 16 materi yang diberikan langsung oleh pemimpin redaksi koran itu, mulai dari UU Pokok Pers sampai ke Pembahasan Foto. Tapi jujur saja, jika ditanya sekarang apa saja isi materi itu, mungkin Aku butuh bantuan Google. Catatannya sudah entah kemana.

Memasuki bangku kuliah, Aku malah merubah arah. Dunia yang mulai dirasuki teknologi informasi membuatku memutuskan masuk jurusan komputer.

Namun ketika memasuki dunia kerja, Aku justru jadi sales di perusahaan distributor produk seluler. Ahh, entahlah.

Dan sekarang Aku terjebak di sebuah warnet, bekerja sebagai operator dan kasir. Aku sedang berada pada tahap transisi karir, dan pekerjaan operator warnet ini hanya untuk sementara menjelang dapat pekerjaan yang lebih baik. Sempat Aku berpikir bahwa menjadi operator warnet hanya akan menodai riwayat karirku. Ini hanya pekerjaan rendah, untuk lulusan SMA sederajat ataupun yang cari uang saku sambil kuliah. Tak bisa diandalkan untuk mencari nafkah. Tapi Aku berusaha meyakinkan diri, ini hanya untuk sementara.

Setelah melihat riwayat hidupku yang seakan terombang-ambing tak tentu arah, mau tak mau Aku harus mempertimbangkan langkah berikutnya. Para motivator sering menyebut bahwa mengikuti passion adalah hal yang penting dalam bekerja.

Dan setelah bertahun-tahun, Aku ingin menghidupkan lagi impian itu, impian menjadi wartawan!*

Alhamdulillah panggilan itu datang! Lamaran yang sudah dua bulan kukirim ternyata membuahkan hasil. Seorang wanita meneleponku, mengatakan bahwa Aku diminta datang esok hari di gedung Graha Aksara, penerbit sebuah koran lokal di kotaku. Koran lokal itulah yang dulu mengadakan pelatihan jurnalistik di SMA-ku. Inilah saatnya! Aku akan hengkang dari warnet bobrok ini!


 Graha Aksara bisa dibilang cukup megah. Gedung itu penampilannya seperti pencakar langit, tapi tak lebih dari 10 lantai. Pintu utamanya yang terbuat dari kaca terbuka otomatis ketika Aku melangkah, memasuki sebuah ruang lobi yang luas. Detak jantungku bertambah. Di kursi jati di ruang lobi itu sudah ada tiga orang, yang dari penampilannya kutebak punya tujuan sama denganku. Sesaat kemudian seorang lelaki muda mengajak kami menuju lantai 2, ke sebuah ruang rapat. Disitu kami mendapat penjelasan, ada tiga tahap yang akan dilalui. Yang pertama tes tertulis, kemudian psikotes, dan terakhir wawancara dengan redaktur.

Tiga hari kemudian, sesudah melakukan tes tertulis dan psikotes yang hampir sama dengan kebanyakan proses rekrutmen di perusahaan lain, kami mengikuti tes terakhir. Wawancara dengan redaktur di hari ketiga kupikir adalah penentuannya, diterima atau tidak.

Ada empat orang redaktur yang mewawancariku sekaligus. Tentu saja Aku gugup. Empat lawan satu. Tapi Aku melakukan semampuku, menyampaikan apa yang bisa kusampaikan, dan menjawab dengan jawaban terbaikku. Selesai diwawancarai, Aku dipersilahkan keluar dari ruang rapat redaksi. Ada satu tahap lagi kata mereka, wawancara dengan pimpinan redaksi. Dan kami pun kembali menunggu....

Pemimpin redaksinya jauh berbeda dengan para redaktur tadi. Dia lebih tegas, to the point, dan pilihan kata-katanya singkat tapi padat. Cukup lama rasanya Aku diwawancarai oleh pimred itu, bila kubandingkan dengan tiga calon lainnya. Ditutupnya perbincangan dengan mengatakan:
 "Tunggu sampai besok, jika terpilih kamu akan dipanggil lagi"
 Aku mengucapkan terima kasih dan permisi untuk pamit.*

Beruntung Aku kerja di warnet pada shift malam, jadi semua tes dan wawancara tak berbenturan dengan jam kerja. Kembali duduk di kursi operator warnet rasanya lelah. Aku terkuras secara fisik dan mental hari ini. Insya Allah kelelahan ini terbayar esok hari. Hari yang akan menjadi sejarah dalam hidupku. Perubahan besar akan terjadi. Sepertinya mendengarkan lagu-lagu bertempo lambat akan menenangkan. Aku membuka pemutar musik online di browser. Kubuka daftar lagu yang sudah kusimpan sebelumnya. Petikan gitar klasik kemudian menggema di ruang warnet. Beberapa pengguna warnet menoleh padaku, seakan protes mendengar lagu yang melow. Mungkin mereka menginginkan lagu yang sedikit menghentak dan memacu semangat. Tapi hari ini adalah hariku, bisa jadi ini hari terakhir mereka bertemu denganku.*

Menjelang magrib esok harinya kecemasanku memuncak. Kuraih HP-ku untuk kesekian kalinya, melihat layarnya adakah panggilan masuk ataupun SMS baru. Atau mungkin sedang ada gangguan sinyal. Panggilan yang kutunggu-tunggu tak juga datang. Azan magrib kemudian berkumandang, yang bersumber dari mesjid dekat warnet. Saatnya menunaikan shalat, sesudah itu menunaikan tugasku, sebagai operator warnet shift malam.

Pengguna warnet malam ini yang pertama kali menyetor uang adalah seorang bapak yang kuperkirakan berumur 40-an. Aku sedikit menjaga jarak dengannya. Aku tahu apa yang biasa dilakukan bapak ini di warnet. Bukannya langsung pulang sehabis kerja, bapak ini malah buang-buang waktu dengan berselancar di situs-situs dewasa. Entahlah, mungkin dia duda atau bagaimana, bukan urusanku. Lagipula dia sudah dewasa.

Lain cerita kalau ada bocah SMP atau SMA yang kudeteksi mengakses situs dewasa. Tentu saja kularang dan kuperingatkan mereka. Situs yang mereka buka akan langsung kututup dari server.

Berbeda dengan malam kemarin, malam ini Aku memainkan lagu-lagu dengan tempo cepat. Perasaanku agak galau. Bagaimana kalau Aku tak diterima jadi reporter? Apa Aku coba melamar ke koran lain? Atau memang kemampuan jurnalistikku tidak memenuhi standar untuk jadi reporter. Yang kuandalkan cuma sertifikat pelatihan jurnalistik waktu SMA, yang kudapat bertahun-tahun lalu. Entahlah.

Daripada tambah pusing, kubuka browser di komputer server. Belakangan ini Aku sering mengakses situs-situs berita online. Tentu Aku harus menambah wawasan mengenai pemberitaan jika ingin jadi reporter. Dari pengamatanku sejauh ini, berbagai media cetak sudah punya situs berita online, terutama media-media besar. Tapi jika kubandingkan isi berita media cetak dan isi berita media online, keduanya berbeda. Berita online pastinya lebih cepat, tapi berita di koran terasa lebih mendalam dengan keterangan yang lebih rinci. Keduanya seakan saling melengkapi.

Namun ada juga media yang belum siap untuk online. Isi berita di situsnya hanya copy-paste dari versi cetak. Situsnya pun kadang update kadang tidak.

Ada pula media yang hanya fokus di online, tidak punya versi cetak. Dan tidak sedikit pula orang yang tak berkompeten dan tak bertanggung jawab dalam mengelola situs mereka. Isinya kebanyakan berita-berita yang menjelekkan pihak tertentu, dengan sumber dan analisis asal-asalan. Begitulah internet, semua seakan bisa berbuat sesukanya.

Sebuah pertanyaan penting kemudian muncul di kepalaku. Dari mana mereka mendapat uang jika hanya mengandalkan berita online? Sementara penjualan media versi cetak dikabarkan terus menurun. Bahkan ada koran nasional yang sudah menghentikan penerbitan versi cetaknya.

Tapi yang jelas, keberadaan wartawan tetap dibutuhkan, dari dulu sampai kini, bahkan hingga nanti. Medianya boleh saja berganti-ganti, tapi profesi wartawan akan tetap bertahan.

Menjelang tengah malam pengunjung warnet mulai berkurang. Tinggal tiga orang lagi yang masih online. Lagu-lagu di komputer server pun berganti dengan lagu-lagu slow yang melow. Sempurna untuk pengantar tidur. Di parkiran kulihat ada tiga motor, milik pengguna warnet tentunya. Kalau saja Aku bosnya, tentu sudah kusuruh pulang mereka. Mata ini sudah berat rasanya. Segera kuminta kunci motor mereka dan kumasukkan motor satu per satu ke dalam warnet. Pintu ruko warnet kemudian kututup dan kukunci dari dalam. Saatnya tidur.*

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan. Aku masih menyimpan sedikit harapan, kalau saja dapat panggilan dari Graha Aksara. Sempat kuberpikir mengajukan lamaran ke media lain, tapi Aku juga meragukan kemampuan jurnalistikku. Apakah Aku belum layak jadi wartawan? Apakah ini hanya sekedar impian, yang takkan jadi kenyataan? Bagaimanapun, semestinya Aku bersyukur, masih ada pekerjaan yang bisa kulakukan. Walau hanya jadi operator warnet.

Di tengah penantian panjang yang terasa membosankan, perkenalanku baru-baru ini dengan sebuah situs bernama KabarBaikCom patut dijadikan catatan. Sama seperti namanya, situs ini adalah kabar baik untukku, yang bermimpi jadi wartawan, tapi belum kesampaian.

Pertama kali Aku berkunjung ke laman KabarBaikCom karena meng-klik tautan yang dibagikan teman dari Facebook. Sebuah berita mengenai razia warnet menarik perhatianku. Beritanya terasa beda, gaya bahasanya lebih akrab, layaknya mendengar seorang teman bercerita. Kuperhatikan lagi, ternyata berita itu tidak dibuat oleh wartawan. Hanya dibuat oleh seorang mahasiswa yang kebetulan sedang berada di lokasi ketika peristiwa terjadi. Foto yang ditampilkan nampaknya diambil dengan kamera HP-nya. Hari itu juga Aku menelusuri lebih jauh, apa dan bagaimana KabarBaikCom itu.

Situs itu dimiliki sebuah perusahaan media nasional yang berpusat di Jakarta. Pendirinya adalah seorang wartawan. Tak heran jika sebagian besar isinya adalah berita. Ada juga tulisan-tulisan fiksi yang dibuat oleh anggota situs itu. Garis besarnya di sini: situs itu menyajikan dan menampung tulisan-tulisan dari warga biasa, mulai dari pelajar, mahasiswa, pekerja, dan orang-orang dengan berbagai latar. Semua bisa menulis sesukanya! Namun tentu si penulis harus bertanggung jawab dengan apa yang ditulisnya.

Situs jurnalisme warga, begitu mereka menyebutnya.*

Semakin sering Aku mengunjuni KabarBaikCom, semakin Aku menyukainya. Dan perlahan tapi pasti, keinginan jadi wartawan di Graha Aksara akhirnya sirna.

Aku sudah mendaftar sebagai anggota di KabarBaikCom. Cukup mudah, layaknya mendaftar di Facebook atau Twitter. Tapi sejauh ini Aku hanya membaca-baca dan berkomentar. Kira-kira apa yang akan kutulis sebagai artikel pertamaku? Berita apa yang bisa kudapat jika hanya duduk di sini? Tips menggunakan warnet barangkali? Atau tips bermain game online? Ahh, siapa yang akan membacanya?

Hari ini Aku masuk siang dan pengunjung warnet agak sepi, anak SMP kelas 3 sedang merayakan kelulusannya. Aku akan coba menulis artikel di KabarBaikCom. Aku sudah dapat ide. Temanya adalah: "Kontrol penggunaan internet bagi anak". Ini adalah isu penting. Bayangkan jika anak-anak sekarang dilepas begitu saja menggunakan komputer atau HP yang terkoneksi dengan internet. Berbahaya. Baiklah, Aku akan kumpulkan bahan dulu dengan Google.

BRAAKKK...KRRAKK...KRRAKK

Sebuah suara yang cukup memekakkan terdengar dari luar warnet. Aku mendongak, melihat keluar. Serombongan anak SMP yang konvoi jatuh dari motor mereka. Dari arah berlawanan terlihat sebuah angkot terhenti, kaca depannya retak. Pengunjung warnet yang tak seberapa beranjak keluar. Kukunci laci meja kasir dan kukantongi HP-ku, lalu berlari keluar. Aku dapat berita besar dan Aku akan tulis di KabarBaikCom!
 Kasihan bocah-bocah malang itu.

(end)

Catatan : Kisah ini adalah fiksi yang terinspirasi kejadian sehari-hari/nyata. Beberapa nama produk/merek, karakter, lokasi, sengaja disamarkan terkait hak cipta dan privasi

Cerpen ini juga saya persembahkan untuk pimpinan dan rekan waktu “sekejap” di Jambi Ekspres, terima kasih untuk segala kebaikannya.

==========

Tulisan terbaru saya lainnya:

  1. Impianku Bersama Ampera Agency (non-fiksi)
  2. Serial Ojek Liar (fiksi)

“Berbagi itu indah, berbagi itu mudah, dan bisa jadi ibadah.”

Belum jadi Kompasianer Gan? Daftar disini Gan : http://accounts.kompas.com/signup

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun