Pemimpin redaksinya jauh berbeda dengan para redaktur tadi. Dia lebih tegas, to the point, dan pilihan kata-katanya singkat tapi padat. Cukup lama rasanya Aku diwawancarai oleh pimred itu, bila kubandingkan dengan tiga calon lainnya. Ditutupnya perbincangan dengan mengatakan:
 "Tunggu sampai besok, jika terpilih kamu akan dipanggil lagi"
 Aku mengucapkan terima kasih dan permisi untuk pamit.*
Beruntung Aku kerja di warnet pada shift malam, jadi semua tes dan wawancara tak berbenturan dengan jam kerja. Kembali duduk di kursi operator warnet rasanya lelah. Aku terkuras secara fisik dan mental hari ini. Insya Allah kelelahan ini terbayar esok hari. Hari yang akan menjadi sejarah dalam hidupku. Perubahan besar akan terjadi. Sepertinya mendengarkan lagu-lagu bertempo lambat akan menenangkan. Aku membuka pemutar musik online di browser. Kubuka daftar lagu yang sudah kusimpan sebelumnya. Petikan gitar klasik kemudian menggema di ruang warnet. Beberapa pengguna warnet menoleh padaku, seakan protes mendengar lagu yang melow. Mungkin mereka menginginkan lagu yang sedikit menghentak dan memacu semangat. Tapi hari ini adalah hariku, bisa jadi ini hari terakhir mereka bertemu denganku.*
Menjelang magrib esok harinya kecemasanku memuncak. Kuraih HP-ku untuk kesekian kalinya, melihat layarnya adakah panggilan masuk ataupun SMS baru. Atau mungkin sedang ada gangguan sinyal. Panggilan yang kutunggu-tunggu tak juga datang. Azan magrib kemudian berkumandang, yang bersumber dari mesjid dekat warnet. Saatnya menunaikan shalat, sesudah itu menunaikan tugasku, sebagai operator warnet shift malam.
Pengguna warnet malam ini yang pertama kali menyetor uang adalah seorang bapak yang kuperkirakan berumur 40-an. Aku sedikit menjaga jarak dengannya. Aku tahu apa yang biasa dilakukan bapak ini di warnet. Bukannya langsung pulang sehabis kerja, bapak ini malah buang-buang waktu dengan berselancar di situs-situs dewasa. Entahlah, mungkin dia duda atau bagaimana, bukan urusanku. Lagipula dia sudah dewasa.
Lain cerita kalau ada bocah SMP atau SMA yang kudeteksi mengakses situs dewasa. Tentu saja kularang dan kuperingatkan mereka. Situs yang mereka buka akan langsung kututup dari server.
Berbeda dengan malam kemarin, malam ini Aku memainkan lagu-lagu dengan tempo cepat. Perasaanku agak galau. Bagaimana kalau Aku tak diterima jadi reporter? Apa Aku coba melamar ke koran lain? Atau memang kemampuan jurnalistikku tidak memenuhi standar untuk jadi reporter. Yang kuandalkan cuma sertifikat pelatihan jurnalistik waktu SMA, yang kudapat bertahun-tahun lalu. Entahlah.
Daripada tambah pusing, kubuka browser di komputer server. Belakangan ini Aku sering mengakses situs-situs berita online. Tentu Aku harus menambah wawasan mengenai pemberitaan jika ingin jadi reporter. Dari pengamatanku sejauh ini, berbagai media cetak sudah punya situs berita online, terutama media-media besar. Tapi jika kubandingkan isi berita media cetak dan isi berita media online, keduanya berbeda. Berita online pastinya lebih cepat, tapi berita di koran terasa lebih mendalam dengan keterangan yang lebih rinci. Keduanya seakan saling melengkapi.
Namun ada juga media yang belum siap untuk online. Isi berita di situsnya hanya copy-paste dari versi cetak. Situsnya pun kadang update kadang tidak.
Ada pula media yang hanya fokus di online, tidak punya versi cetak. Dan tidak sedikit pula orang yang tak berkompeten dan tak bertanggung jawab dalam mengelola situs mereka. Isinya kebanyakan berita-berita yang menjelekkan pihak tertentu, dengan sumber dan analisis asal-asalan. Begitulah internet, semua seakan bisa berbuat sesukanya.
Sebuah pertanyaan penting kemudian muncul di kepalaku. Dari mana mereka mendapat uang jika hanya mengandalkan berita online? Sementara penjualan media versi cetak dikabarkan terus menurun. Bahkan ada koran nasional yang sudah menghentikan penerbitan versi cetaknya.
Tapi yang jelas, keberadaan wartawan tetap dibutuhkan, dari dulu sampai kini, bahkan hingga nanti. Medianya boleh saja berganti-ganti, tapi profesi wartawan akan tetap bertahan.