[caption id="attachment_328250" align="aligncenter" width="456" caption="Gambar dari website: http://www.mentalhealth.org.uk/our-work/world-mental-health-day/world-mental-health-day-2014/"][/caption]
Penting ga penting
"Oh, lo anak psikologi ya? Bisa baca gue dong?"
Bagi kalian yang berkecimpung di dalam dunia psikologi, baik sebagai seorang dengan profesi psikolog atau mahasiswa sekalipun, tanggapan di atas pasti tidak asing di telinga kalian. Sadar tidak sadar, hal tersebut jelas disebabkan oleh ketidakpahaman masyarakat atas ilmu yang kita pelajari dan dalami ini. Masih banyak masyarakat yang belum tahu, tapi sudah melakukan perilaku judgmental yang terkait dengan paradigma di masyarakat secara umum. Lebih jauh, pola perilaku seperti ini tentu kita temui pula di dalam konteks lain, yang salah satunya adalah mengenai kesehatan mental.
Tulisan ini saya buat khusus, untuk Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day) 2014, yang jatuh tepat pada hari ini, Jumat, 10 Oktober 2014, dengan tema "Shines a Light On Schizophrenia".
Kesehatan Mental di Indonesia
Dari semua pengertian tentang kesehatan, masyarakat masih banyak yang secara sadar tidak sadar lebih mengacu pada kesehatan fisik, dan cenderung sedikit menyampingkan masalah kesehatan mental. Tidak bisa disalahkan, sebab yang lebih dapat terlihat secara kasat mata dan lebih dapat diukur adalah kesehatan fisik. Akan tetapi hal tersebut tidak membuat kesehatan mental menjadi tidak penting. Dasarnya, kesehatan mental dibutuhkan setiap orang untuk merasa "sejahtera", untuk dapat menjalankan kehidupan sehari-hari dengan akal sehat, sehingga pada akhirnya membuat kita dapat menjalani hidup secara "normal".
Sangat disayangkan bahwa di Indonesia masih terjadi kesalahpahaman, yang dianggap menjadi "kebenaran semu", mengenai kesehatan mental. Contoh paling sederhana adalah masih banyaknya masyarakat yang menghindari untuk datang ke psikolog maupun psikiater, hanya karena stigma yang terdapat di masyarakat bahwa orang yang datang ke psikolog atau psikiater adalah orang gila. Buktinya adalah data yang didapatkan dari Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013, yakni masih adanya 56000 orang yang dipasung oleh keluarganya, di Indonesia, yang disebabkan oleh kurangnya fasilitas dan informasi mengenai kesehatan mental. Bukti lain yang mendukung hal ini adalah informasi dari seorang teman yang sudah menjadi seorang dokter, bahwa di beberapa daerah Jakarta masih ada keluarga yang memasung anggota keluarganya yang skizofrenia, hanya karena mereka malu untuk datang ke bagian kejiwaan di puskesmas, terkait dengan stigma yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Fenomena Lain yang Masih Berkaitan Dengan Kesehatan Mental
Apabila di atas yang saya bahas adalah fenomena besar terkait dengan tema tahun ini, pada bagian ini saya ingin membahas hal yang menjadi salah satu keprihatinan saya, yang masih terkait dengan kesehatan mental secara umum: Kurikulum pendidikan Indonesia.
Mengapa kurikulum pendidikan? Seperti yang kita ketahui, kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini semakin menuntut perjuangan dari para peserta didik melalui standar yang diberikan. Sayangnya, caranya salah. Satu fakta yang saya dapatkan dari seorang informan, yang sangat tidak masuk akal bagi saya, adalah kurikulum yang ditetapkan pada sekolah di daerah asalnya. Pada sekolah tersebut, seorang anak kelas satu SD dituntut untuk bisa calistung (membaca, menulis, dan menghitung), dengan tingkat kesulitan yang seharusnya didapatkan pada kelas yang lebih tinggi; yang lebih tidak masuk akal lagi, adalah anak kelas lima SD yang mendapatkan tugas untuk membuat penelitian semacam "skripsi". Satu hal yang fatal dari kurikulum seperti ini adalah hilangnya unsur bermain dari dalamnya.
Oke, mungkin tujuannya adalah ingin mengembangkan tingkat pendidikan di Indonesia. Tapi bukan seperti itu caranya. Tuntutan akademis seperti itu akan membuat anak-anak harus bekerja dengan lebih keras, yang tidak sesuai dengan kondisi dan tugas perkembangan pada usia mereka. Bagaimanapun tugas perkembangan anak pada usia tersebut adalah bermain, belajar bersosialisasi, dan belajar hal-hal yang mendasar. Ketika yang diterapkan adalah kurikulum seperti ini, tentu kesejahteraan anak akan menurun. Hal seperti inilah yang secara jangka panjang akan mempengaruhi kesehatan mental dari para penerus bangsa ini.
Tanggapan, Saran, dan Ajakan
Dari dua fenomena "besar" yang telah dibahas di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia secara umum belum peduli terhadap masalah kesehatan mental. Apa yang dibahas di atas baru dua fenomena besar, sedangkan pada kenyataannya masih banyak fenomena lain terkait dengan kesehatan mental, yang mungkin lebih "kecil", tapi terjadi di kehidupan sehari-hari. Fenomena-fenomena yang muncul sebagai akibat dari kurangnya pemahaman, atau kesalahpahaman masyarakat atas konsep dari kesehatan mental beserta urgensinya. Kurangnya pemahaman beserta kesalahpahaman inilah yang pada akhirnya membuat masyarakat lebih mempedulikan stigma yang muncul dari sekitarnya, daripada membuka pikiran dan mencari pemahaman yang lebih jauh mengenai kesehatan mental. Tidak heran apabila Indonesia masih disebut sebagai negara yang "tertinggal" dari negara lainnya.
Untuk kalian yang masih belum memiliki pemahaman mendalam mengenai kesehatan mental. Ayo buka mata dan pikiran kalian! Banyak hal yang terjadi di sekitar kita yang berkaitan dengan kesehatan mental, langsung tidak langsung, jangka panjang maupun jangka pendek. Cari informasi yang lebih memadai agar pemahaman kalian mengenai kesehatan mental dapat lebih mendalam, sehingga kalian tidak akan mudah "dibodohi" oleh stigma-stigma dan "mitos-mitos" terkait dengan kesehatan mental yang sudah tersebar luas.
Untuk para psikolog, psikiater, sarjana psikologi, mahasiswa psikologi, serta kalian yang sudah memiliki pemahaman dan pemaknaan lebih mengenai kesehatan mental. Tetap berjuang untuk memberikan "paradigma baru" bagi mereka yang masih belum mengerti dan masih memegang "paradigma lama" tentang kesehatan mental, dengan cara apapun.
Untuk pemerintah. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat, monggo lho, mulai pikirin rakyat lah. Atau jangan-jangan kalian juga masih belum menganggap masalah kesehatan mental itu penting? Dua fenomena yang saya bahas di atas bisa jadi awal lho. Penyebaran informasi dan fasilitas kesehatan mental bisa mulai dikembangkan supaya mencapai daerah-daerah di luar pulau Jawa. Buat masalah kurikulum, bisa kok dimulai dari baca-baca teori dari Erik Erikson tentang tahap dan tugas perkembangan. Paling tidak supaya tingkat pendidikan Indonesia bisa ditingkatkan melalui cara yang lebih sesuai dan lebih tepat gitu lho. Kasihan anak-anak jaman sekarang kalau hak bermain mereka jadi terampas akibat kurikulum yang menuntut mereka untuk belajar lebih dari yang seharusnya.
Akhir kata, Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia! Mari buka mata dan buka pikiran atas apa yang terjadi di sekitar kita! Hargai sesama, hargai perbedaan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H