Mohon tunggu...
Adam Zulfian
Adam Zulfian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Adam Zulfian lahir di kota tangerang 14 februari 2004. sekarang saya adalah seorang mahasiswa yang sedang melaksanakan program studi ilmu politik S1 saya di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, hobi saya bermusik dan bernyanyi, sesuai minat dan bakat yang saya miliki saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Awan Mendung Demokrasi

10 Desember 2023   21:50 Diperbarui: 11 Juli 2024   12:54 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) harus menjadi renungan penguatan dan perbaikan demokrasi kita. Jangan ada lagi pengabaian terhadap berbagai bentuk pengangkangan atas pelembagaan demokrasi di negeri ini. Sesesak apa pun, menghormati dan menjunjung tinggi seluruh putusan perangkat hukum yang bersifat final dan mengikat (legally binding) merupakan prasyarat mutlak bagi kesehatan demokrasi kita.

Dalam kondisi tertentu, "turbulensi" politik tersebut memang agak mengganggu irama atau ritme demokrasi kita. Namun, kondisi semacam ini menjadi litmust test yang akan semakin menempa, mendewasakan dan menguatkan fondasi demokrasi kita.

Intervensi apa pun terhadap keberadaan kelembagaan demokrasi kita tidak boleh merubah arah demokrasi dari tujuan utamanya; kemakmuran dan kesejahteraan yang merata. Oleh karena itu, pesimisme atas demokrasi bukan alasan bagi bangsa ini untuk berpaling dari demokrasi. Bagaimanapun kita telah berada pada tahap point of no return dalam berdemokrasi.

Krisis demokrasi Jika bisa dikelola dengan baik, terutama melalui kerangka ketaatan mutlak terhadap penegakan hukum, berbagai bentuk gangguan dan intervensi politik tak akan menggoyahkan fundamental demokrasi. Namun, sekecil apa pun gangguan itu tak boleh dianggap remeh karena bisa menciptakan ketidak percayaan publik atas demokrasi.

Przeworski (2019) menyebut kondisi semacam ini sebagai krisis demokrasi. Yakni ketika aspek-aspek definitif dan fundamental absen dalam tubuh demokrasi; pemilu yang kompetitif, hak-hak sipil yang terjamin, dan penegakan hukum yang adil.

Tanda-tanda krisis demokrasi yang juga dapat dirasakan dengan jelas adalah rendahnya tingkat kepercayaan rakyat terhdaap partai politik saat ini, penarikan kepercayaan masyarakat dari lembaga demokrasi dan para politisi, atau ketidak mampuan pemerintah mengelola tatanan publik tanpa represi. 

Barang kali indikator krisis demokrasi yang paling menonjol adalah runtuhnya tatanan publik yang ada. Dalam ungkapan juan j linz, krisis demokrasi paling serius adalah ketika tatanan publik tidak bisa dijalankan di atas kerangka kerja demokrasi.

Kondisi krisis demokrasi dapat membuka celah bagi masuknya sistem non-demokrasi, seperti otoritarianisme, oligarki dan semacamnya untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat.

Dalam kondisi ekstrem, kegagalan demokrasi dapat menciptakan kegagalan suatu negara, akibat ketidakmampuan negara mengelola dan mengatasi krisis demokrasi. Dalam kondisi semacam ini, bukan tidak mungkin khalayak merindukan kembalinya sistem pemerintahan lama (non-demokrasi).

Salah satu titik rawan bagi munculnya krisis demokrasi adalah pada aspek penegakan hukum yang lemah dan tidak otoritatif akibat masuknya faktor konflik kepentingan dalam proser pengambilan putusan hukum. Kasus yang menimpa Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum MKMK melakukan intervensi hukum dapat dilihat sebagai pintu masuk munculnya krisis demokrasi.

Beruntung langkah MKMK untuk "penyelamatan" melakukan tindakan hukum dapat mengembalikan marwah demokrasi. Bagaimanapun juga, penegakan hukum dan demokrasi ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama (O'donnell, 2004)

Otoritarianisme kompetitif

Selama dua dekade lebih kita menjalani era Reformasi, demokrasi terbukti memberikan banyak manfaat untuk perbaikan kondisi bangsa ini. Memang disana-sini masih dijumpaik ekurangan dan kelemahan; tingginya disparitas ekonomi, rasio gini, angka kemiskinan dan pengangguran, dan berbagai persoalan lainnya.

Justru segudang persoalan inilah yang harus diselesaikan melalui mekanisme demokrasi yang kita selenggarakan secara berkala. Kebermaknaan demokrasi harus diperhadapkan secara vis--vis dengan penyelesaian berbagai problematika bangsa ini. Jangan sampai pergelaran demokrasi hanya menjadi arena perburuan kekuasaan semata.

Terlebih jika cara-cara yang ditempuh menuju kemenangan harus mengorbankan prinsip-prinsip etika politik berkeadaban, sungguh cara demikian justru akan menggerus demokrasi dari dalam. Jika ini yang terjadi, dikhawatirkan bangsa ini akan terjatuh dalam apa yang disebut Steven Levitsky & Lucan Way (2002 : 52) sebagai "competitive authoritarianism". Yakni, sebuah pemerintahan demokrasi hibrida sebagai hasil "kawin silang" antara demokrasi elektoral yang kompetitif dan moral hazards oleh segelintir elite.

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo memang sempat mengucapkan istilah "cawe-cawe" untuk mengawal Pemilu 2024. Belakangan istilah ini menyulut kontroversi publik. Tanpa ber-pretensi menghakimi, tentu saja istilah ini harus disikapi secara netral, "berjarak"" dan tanpa prasangka. Sepanjang tidak dijumpai fakta-fakta keras pelanggaran hukum atas pelaksanaan demokrasi, ucapantersebut layak kita dukung bersama. Sebaliknya, jika terdapat bukti empiris pelanggaran hukum dan etika berdemokrasi, maka istilah cawe-cawe perlu diletakkan pada altar inkuisisi hukum.

Dalam demokrasi, tindakan penguasa memperalat hukum untuk mengakomodasi kepentingan politiknya disebut sebagai stealth atau mencuri secara diam-diam (Varol, 2015).Yakni, penggunaan mekanisme legal-konstitusional pada rezim demokrasi untuk tujuan-tujuan yang jauh dari nilai-nilai demokrasi.

Landau (2013 : 195) menyebut tindakan semacam ini sebagai abusive constitutionalism (konstitusionalisme yang lancung). Dalam derajat tertentu, fenomena "judisialisasi politik" yang terjadi di negeri ini beberapa waktu yang lalu memiliki irisan makna yang kuat dengan istilah stealth dan abusive constitutionalism di atas.

Dalam konteks inilah, keberadaan lembaga watchdog dalam tubuh demokrasi menemukan relevansinya guna memastikan proses demokrasi berjalan tanpa instrumentalisasi hukum untuk tujuan antidemokrasi. Lembaga semacam inilah yang bertugas mengawasi secara saksama apakah benturan kepentingan menjadi penghalang bagi berjalannya proses demokrasi yang akuntabel. Peran semacam inilah yang berhasil dipikul MKMK sehingga terjadinya benturan kepentingan dapat dideteksi dan diakhiri. Tugas kita selanjutnya adalah menghormati dan menjunjung tinggi hasil keputusan MKMK tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun