Beruntung langkah MKMK untuk "penyelamatan" melakukan tindakan hukum dapat mengembalikan marwah demokrasi. Bagaimanapun juga, penegakan hukum dan demokrasi ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama (O'donnell, 2004)
Otoritarianisme kompetitif
Selama dua dekade lebih kita menjalani era Reformasi, demokrasi terbukti memberikan banyak manfaat untuk perbaikan kondisi bangsa ini. Memang disana-sini masih dijumpaik ekurangan dan kelemahan; tingginya disparitas ekonomi, rasio gini, angka kemiskinan dan pengangguran, dan berbagai persoalan lainnya.
Justru segudang persoalan inilah yang harus diselesaikan melalui mekanisme demokrasi yang kita selenggarakan secara berkala. Kebermaknaan demokrasi harus diperhadapkan secara vis--vis dengan penyelesaian berbagai problematika bangsa ini. Jangan sampai pergelaran demokrasi hanya menjadi arena perburuan kekuasaan semata.
Terlebih jika cara-cara yang ditempuh menuju kemenangan harus mengorbankan prinsip-prinsip etika politik berkeadaban, sungguh cara demikian justru akan menggerus demokrasi dari dalam. Jika ini yang terjadi, dikhawatirkan bangsa ini akan terjatuh dalam apa yang disebut Steven Levitsky & Lucan Way (2002 : 52) sebagai "competitive authoritarianism". Yakni, sebuah pemerintahan demokrasi hibrida sebagai hasil "kawin silang" antara demokrasi elektoral yang kompetitif dan moral hazards oleh segelintir elite.
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo memang sempat mengucapkan istilah "cawe-cawe" untuk mengawal Pemilu 2024. Belakangan istilah ini menyulut kontroversi publik. Tanpa ber-pretensi menghakimi, tentu saja istilah ini harus disikapi secara netral, "berjarak"" dan tanpa prasangka. Sepanjang tidak dijumpai fakta-fakta keras pelanggaran hukum atas pelaksanaan demokrasi, ucapantersebut layak kita dukung bersama. Sebaliknya, jika terdapat bukti empiris pelanggaran hukum dan etika berdemokrasi, maka istilah cawe-cawe perlu diletakkan pada altar inkuisisi hukum.
Dalam demokrasi, tindakan penguasa memperalat hukum untuk mengakomodasi kepentingan politiknya disebut sebagai stealth atau mencuri secara diam-diam (Varol, 2015).Yakni, penggunaan mekanisme legal-konstitusional pada rezim demokrasi untuk tujuan-tujuan yang jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Landau (2013 : 195) menyebut tindakan semacam ini sebagai abusive constitutionalism (konstitusionalisme yang lancung). Dalam derajat tertentu, fenomena "judisialisasi politik" yang terjadi di negeri ini beberapa waktu yang lalu memiliki irisan makna yang kuat dengan istilah stealth dan abusive constitutionalism di atas.
Dalam konteks inilah, keberadaan lembaga watchdog dalam tubuh demokrasi menemukan relevansinya guna memastikan proses demokrasi berjalan tanpa instrumentalisasi hukum untuk tujuan antidemokrasi. Lembaga semacam inilah yang bertugas mengawasi secara saksama apakah benturan kepentingan menjadi penghalang bagi berjalannya proses demokrasi yang akuntabel. Peran semacam inilah yang berhasil dipikul MKMK sehingga terjadinya benturan kepentingan dapat dideteksi dan diakhiri. Tugas kita selanjutnya adalah menghormati dan menjunjung tinggi hasil keputusan MKMK tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H