Mohon tunggu...
A Damanhuri
A Damanhuri Mohon Tunggu... Jurnalis - Gemar bersosial dan penikmat kopi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Mengucapkan sebuah kata sejati, adalah mengubah dunia. Dalam kata ditemukan dua dimensi: Refleksi dan Tindakan". (Paulo Freire)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membentuk Kemampuan Diri Lewat Organisasi dan Menulis

24 Mei 2020   19:32 Diperbarui: 24 Mei 2020   19:31 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para alumni Pesantren Darul 'Ulum Padang Magek ketika halal bi halal 10 tahun yang lalu di salah seorang rumah anggota di Kota Padang Panjang. (foto dok pribadi)

Hanya boleh bebas dua hari dalam seminggu, yakni Kamis dan Jumat karena dua hari itu merupakan liburan bagi kami yang mengaji di pesantren tradisional. Kalau yang dua hari itu kita tak shalat jamaah, atau shalat jamaah di luar pesantren dianggap bonus atau biasa saja.

Perjalanan minta belas kasihan orang lain pada dua hari tersebut, bukan semata miskinnya santri bersangkutan. Namun, lebih dari itu bagaimana kader ulama itu diterpa dengan kesusahan hidup. 

Masuk kampung dan nagari sambil pakai sarung, dan sebuah karung tepung dari kain, yang kami sebut buntie. Kami cukup mengucapkan salam kepada pemilik rumah, lalu bagi pemilik rumah yang punya niat ingin bersedekah, ya dikasihnya beras ala kadarnya atau uang. 

Itulah rezeki kami. Tak jarang, aku dan kawan-kawan yang melakukan itu acap dapat perlakuan kasar selama mamakiah itu dari masyarakat. Cacian dan makian dari segelintir orang, di kejar ajing gila atau di salak ajing penjaga rumah-rumah orang berada misalnya.

Kata guru tuo kami, itu bagian dari ujian dalam menuntut ilmu agama Islam. Selama lima tahun aku di Padang Magek (1988-1993), boleh dikatakan semua kampung yang ada di Tanah Datar dan Padang Panjang sudah aku rancahi. Ada yang berdua perginya, dan ada pula yang sendirian. 

Ada pameo yang mahir untuk kawan yang sulit dapat ilmu; mangaji di Padang Magek, mamakiah ka Sitakuak. Bialah kaji ndak dapek, asalkan badan lai gapuak. 

Tentu, pamoe itu juga pelecut bagi kami untuk terus giat belajar segala ilmu di pesantren tersebut. Memang, ada satu kampung di Tanah Datar itu yang bernama Sitakuak, yakni dekat Sungai Tarab. Begitu juga soal muhadlarah atau latihan dakwah seminggu sekali, juga semua santri dapat giliran.

Dengan shalat berjamaah, zikir bersama setiap habis shalat serta doa bersama itu pula barangkali terbangunnya rasa sosial kemasyarakatan di tiap-tiap individu santri Padang Magek. 

Rasa berkawan, rasa berkampung dan rasa bernagari mampu hinggap dalam setiap jiwa. Tak heran, saat lebaran menjelang pergi ke pesantren kembali setelah libur panjang, kami yang di Padang Pariaman saling berkunjung. 

Aku berkunjung ke Koto Baru, Batang Piaman, Tandikek dan kampung kawan lainnya. Malah sampai bermalam di situ. Begitu juga kawan yang di Batang Piaman dan Koto Baru juga pernah bermalam di rumah orangtuaku, Ambung Kapur. 

Sewaktu aku di Padang Magek, memang yang paling banyak itu kawan dari Batang Piaman, Koto Baru dan Tandikek. Sedang dari Ambung Kapur dan Sungai Sariak ada pula, tapi tak begitu banyak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun