Mohon tunggu...
A Damanhuri
A Damanhuri Mohon Tunggu... Jurnalis - Gemar bersosial dan penikmat kopi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Mengucapkan sebuah kata sejati, adalah mengubah dunia. Dalam kata ditemukan dua dimensi: Refleksi dan Tindakan". (Paulo Freire)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Indah dan Santri Hebat dari Surau Baru Padang Magek

11 Mei 2020   14:11 Diperbarui: 11 Mei 2020   14:28 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama datang ke Padang Magek, aku diantar Abak dan keluarga setelah tamat sekolah SD tahun 1988. Menempati Surau Tabiang, yang merupakan surau milik mendiang H. Kakan, salah seorang guru di Pondok Pesantren Darul 'Ulum, yang juga warga Ambung Kapur yang telah lama tinggal di Rambatan.

Sebagai orang yang datang dari Ambung Kapur, tentu Abak yang pernah juga mondok dulunya di Padang Magek, dan sampai tamat sekolah di Persiapan IAIN Batusangkar, Abak mengantar aku ke Surau Tabiang. Apalagi Abak dan H. Kakan yang kemudian aku panggil dengan sebutan mamak itu sama-sama santri mendiang Salim Malin Kuniang dulunya.

Yang sama berangkat ke Surau Tabiang dari kampung, adalah Syamsuar Kamal, Ali Mutamar. Kami bertiga ini sama-sama tamat SD, dan sama-sama diantarkan ke pesantren oleh orangtua. Tak beberapa hari setelah aku sampai di Surau Tabiang, datang pula warga Ambung kapur lainnya, Anwar Syam, cucu kandung oleh Mamak Kakan.

Mahyuddin, kemenakan mamak Kakan yang juga telah jadi warga Rambatan yang banyak menemani kami para santri di kala malam. Kami mengaji bersama. Sebelumnya, saat kami kelas enam SD, Apuak, begitu kami memanggil Mahyuddin, pernah pulang kampung, dan sempat lama tinggal di kampung, yakni di Surau Langkuik.

Nah, selama dia di kampung itulah, kami yang datang ke Padang Magek itu pernah ngaji matan taqrib, matan bina, matan jurumiah serta makna Quran bersama Apuak. Belakangan, karena kesibukan Apuak yang semakin tinggi, dan banyak apsen mengajar. Didatangkanlah dua orang guru tuo dari Surau Baru.

Dia mendiang Zamzami dan Ismael. Zamzami yang orang Batang Piaman Gadang, Nagari Koto Dalam ini ikut membawa dua kemenakannya, Mukhlis dan Mansurni ke Surau Tabiang. Sedangkan Ismael sendirian. Cukup lama juga kami para santri yang datang dari Ambung Kapur, Pasar Usang itu ngaji bersama dua orang guru tuo tersebut.

Tahun berjalan, Tuo Zamzami melanjutkan merantau ke Palembang, menurutkan kakaknya yang telah duluan berhasil di kampung wong kito galo itu. Sedangkan Ismael yang warga Sarang Gagak melanjutkan mengaji ke Koto Laweh, Tanah Datar, bersama Tuanku Dahlan, orang kampungnya yang malin, alumni Pesantren Madrasatul 'ulum Lubuk Pandan.

Dua teman aku yang sama berangkat dari kampung, Syamsuar Kamal dan Ali Mutamar hanya bertahan setahun. Ali Mutamar memilih jadi kernec mobil Padang Sago - Padang setelah sempat pindah ke Pesantren Luhur Surau Mato Aie, Pakandangan. Syamsuar Kamal hanya bertahan di kampung.

Aku karena terasa jauh berulang mengaji dari Surau Tabiang ke Surau Baru, setelah minta izin ke Mamak Kakan dan Apuak Mahyuddin, aku pindah tempat tinggal ke Surau Baru. Surau Baru itu mengingatkan kembali masa lalu saat aku nyantri dulu. Di surau itulah aku belajar ngaji, tahu adab sopan santun, memuliakan guru dan menghormati teman-teman yang senasib sepenanggungan. Di surau itu pula letaknya pusat sentral Pondok Pesantren Darul 'Ulum Padang Magek.

Dari 1988 hingga 1992 aku ngaji di Padang Magek bersama sejumlah kawan yang datang dari Ambung Kapur, Kabupaten Padang Pariaman. Surau Baru kala itu ada dua. Makanya, ada Surau Ateh dan ada Surau Bawah. Kedua surau itu berfungsi, ya untuk ngaji, ya sekalian asrama. Sebagai tempat mengaji, di surau itu aku dan kawan-kawan belajar berbagai disiplin ilmu agama melalui kitab kuning. Waktu ngaji pagi, siang dan malam. Ada guru yang mendampingi saban waktu, yakni dari santri senior yang biasa kami panggil dengan sebutan guru tuo, lantaran mungkin karena usia dan ilmunya lebih dalam dari kami yang santri yunior.

Guru tuo, seperti alm H. Anwar Tuanku Sutan Marajo, Iskandar Tuanku Kuniang, Tuanku M. Jalil adalah guru yang paling tahu nasib dan perasaian para anak faqih di asrama. Dan ada juga guru tuo lain. Selama di Surau Baru, aku punya kelompok bersama kawan-kawan lain, yang merupakan gabungan dari surau lain, seperti Surau Tungga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun