Bangsa ini seperti sedang menggali kuburnya sendiri. Dan, saat-saat penguburan itu tinggal menunggu hitungan hari. Kenapa? Karena kebersamaan tidak lagi mendapat tempat di negeri ini. Lihat saja, di tingkat atas para pemimpin kian sulit untuk disatukan. Sementara mereka yang tengah berkuasa tidak ingin merangkul. Sikap mereka yang anti kritik, semakin membuat perpecahan di tengah masyarakat.
Siapa yang akan menyangka, rakyat yang telah hidup damai bertahun-tahun dalam pelukan reformasi, menjadi terbelah, hanya karena hasrat berkuasa para pemimpinnya. Hampir setiap hari, di media sosial, terjadi perang kata-kata, bahkan tidak jarang sudah menjurus kepada fitnah dengan menyebarkan berita bohong atau hoax.
Jika ditarik benang merahnya, pertarungan opini di medsos melibatkan dua kelompok besar, mereka yang pro-pemerintah dan yang anti-pemerintah. Kedua kelompok saling mengklaim kebenaran. Namun sayang, kedua kelompok juga sama-sama tidak menabukan serangan yang bersifat fitnah dan hoax.
Pemerintah sudah berupaya mengantisipasi hal ini, dan mengancam akan menindak tegas para penyebar hoax. Beberapa media online dan akun-akun medsos sudah bertumbangan. Sayangnya lagi, hampir semua media dan akun yang dibredel itu berasal dari golongan yang anti. Hanya pengkritik yang dibungkam, sementara para pemuji dibiarkan leluasa berbuat seenaknya. Jelas hal ini tidak meredakan ketegangan, malah semangat perlawanan menjadi kian menguat.
Melihat kondisi seperti ini, ketika Negara sudah berada pada periode peradaban terendah dalam sejarah bangsa, para tokoh hadir bersuara. Salah satunya Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. Selama 10 tahun ia membangun Negara ini menjadi bangsa demokrasi yang disegani, namun hanya selang dua tahun sudah berada di ambang pertikaian saudara.
Bukan hal yang asing jika mantan presiden mencoba mengingatkan presiden yang sedang berkuasa. Justru aneh bila ada presiden yang anti-kritik. Bila presiden alergi kritik, ini menjadi sinyal lonceng kemunduran bagi masa depan demokrasi. Karena dalam sistem presidensial, tidak ada lagi prinsip "the king can do no wrong". Presiden salah ya harus berbenah.
Tetapi pemerintah dan para pendukungnya menganggap kritikan itu sebagai serangan. Bukannya mendengarkan masukan, mereka malah berupaya melancarkan kritikan balik. Adalah Menko Polhukam Wiranto dan terpidana kasus korupsi, Anas Urbaningrum, yang menanggapi negatif cuitan SBY di Twitter beberapa waktu lalu. Padahal, ketua umum Partai Demokrat itu hanya mengeluhkan bangsa ini yang penuh kabar bohong dan fitnah.
Menurut Wiranto, cuitan SBY itu bisa membuat rakyat merasa was-was. Sebuah logika berpikir yang sangat dangkal. Sebelum cuitan itu ada, masyarakat sudah was-was duluan akibat banyak fitnah dan hoax bertebaran. Jika Negara hadir secara adil dalam mengatasi perpecahan itu, niscaya SBY tidak perlu susah-susah bersuara, sehingga tidak menjadi sasaran dari serangan para pendukung pemerintah yang kerap berlaku radikal di media sosial.
Terlihat ada upaya membungkam para tokoh seperti SBY agar tidak lagi lantang bersuara. Pendapatnya disanggah dengan kritikan, masukannya tidak didengar, dan ia malah dituding memperkeruh suasana. Di media sosial, ia diserang habis-habisan. Entah ada instruksi dari pihak tertentu, kita tidak tahu. Tapi yang pasti, pola serupa dialami oleh hampir semua para pengkritik pemerintah.
Sikap anti kritik yang dipertontonkan menteri yang kabarnya dicekal beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, akibat dugaan kejahatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa silam, itu, juga mengisaratkan pemerintah sedang terlelap, dininabobokkan oleh puja-puji para pendukung, yang notabene tengah menikmati potongan-potongan kue kekuasaan. Sudah waktunya untuk bangun, rakyat sudah menjerit kesusahan.
Sama halnya dengan Anas Urbaningrum. Kritikannya memang dibutuhkan bangsa ini dalam membangun aras demokrasi, namun jangan sampai pendapat itu bersumber dari rasa dendam. Apa yang menimpa mantan politisi  Partai Demokrat itu adalah kesalahan pribadi.
Ia sendiri gelap mata karena ingin mencari jalan pintas mendapatkan kuasa dan harta. Itu sudah terbukti di pengadilan. Jadi, jika ingin berkontribusi bagi bangsa, menebus dosa karena telah menyamun uang negara, jangan pula menyerang mereka yang sudah berusaha membela rakyat. Tapi kritiklah pemerintah agar lebih bersikap adil dan bijaksana.
Memang, sebuah era pemerintahan selalu mengalami pasang surut. Ada kalanya dipuja, dan sebaliknya, bisa pula dibenci. Dulu, saat Orde Lama menjadi barang haram, Orde Baru dianggap suci. Orde Lama adalah loyang, Orde Baru emas.
Zaman berganti, keemasan Orde Baru berlalu. Datanglah Era Reformasi. Pemerintahan Orde Baru yang sarat korupsi, ditinggalkan. Rezim yang otoriter dan banyak melakukan pelanggaran HAM, dihujat.
Hampir 19 tahun rakyat hidup tenang dalam sistem demokrasi. Bahkan, 10 tahun di Era SBY, Indonesia mencapai puncak kebebasan bersuara dan berpendapat. Janganlah capaian itu tercerabut, sehingga rakyat kembali hidup di zaman penguasa otoriter, bertangan besi dan anti kritik.
Negara ini dibangun di atas tangis dan darah rakyat yang berjuang memberikan kemerdekaan kepada generasi penerusnya. Mereka tidak akan rela jika hanya karena segelintir orang yang takut kehilangan kuasa, anak cucu mereka tidak lagi menikmati hak dan kebebasan sebagai warga negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H