Hak asasi manusia (HAM) di negeri masih menjadi impian. Meski kata itu hampir setiap hari kita dengar dan perdebatkan, namun kita tak pernah tahu makna sesungguhnya. HAM kini seolah menjadi kata yang hampa makna. Karena setiap kali kita berdebat tentang persoalan yang satu ini, tak pernah ada ujung penyelesaian yang konkret.
Salah satu peristiwa penting yang tidak boleh dilupakan bangsa ini adalah penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998.
Pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kasus ini telah diselidiki. Hasilnya jumlah korban atas penghilangan orang tersebut adalah satu orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.
Peristiwa lainnya adalah pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, pada September 2004, pada era Pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Setahun kemudian, SBY berupaya menuntaskan penyelesaian kasus tersebut dengan membentuk tim investigasi independen, sehingga menyeret Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, ke meja persidangan. Ia dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara karena menaruh arsenik di makanan Munir, guna membungkam pengkritik pemerintah tersebut.
Kedua kasus tersebut belumlah tuntas sepenuhnya. Aktor intelektual yang sesungguhnya diyakini belum tersentuh. Pemerintah sekarang wajib menyelesaikannya, bukan malah melempar kesalahan kepada presiden terdahulu, yang sudah membuka jalan untuk menerangi sengkarut persoalan HAM di masa lalu.
Saat ini, pemerintahan telah berganti, tongkat estafet telah berpindah tangan. Presiden Joko Widodo sebagai pemegang kendali negeri, wajib melanjutkan kinerja pendahulu dalam mencari titik terang masalah ini. Jangan sampai tidak melakukan apa-apa, bahkan berupaya menutup-nutupinya.
Pernyataan Ketua Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan, di salah satu media online pada Rabu (14/12/2016), cukup disayangkan. Ia terkesan lepas tangan dalam penyelesaian kasus-kasus HAM dengan mengatakan sengkarut itu merupakan warisan SBY, dan Jokowi telah berupaya maksimal menuntaskannya.
Trimedya harusnya sadar, pernyataan ini bisa menjadi bumerang bagi kelompoknya. Apa ia tidak tahu pembunuhan Munir terjadi di saat ketua umum partainya menjadi presiden, dan orang-orang dekat sang presiden kala itu yang diuntungkan dengan bungkamnya si aktivis. Lalu tragedi penculikan 97/98, juga terjadi saat masa kepemimpinan Jenderal tertinggi ABRI, Wiranto, yang saat ini didapuk menjadi Menkopolhukam Kabinet Jokowi.
Nama terakhir dikabarkan juga dicekal Amerika Serikat. Ia masuk dalam daftar orang yang tidak diizinkan masuk ke negara tersebut, karena dinilai melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur. Informasi tersebut dimuat harian The Washington Post edisi 16 Januari 2004.
Bertolakbelakang dengan pernyataan Trimedya, Direktur Imparsial, Al-Araf, memberi catatan kritis atas kinerja Jokowi dalam konteks penegakan HAM. Menurutnya, dalam kurun waktu dua tahun memerintah, penuntasan kasus HAM belum menjadi perhatian utama pemerintah.
Hasil penelitian Imparsial membuktikan penegakan HAM pada masa Jokowi tidaklah lebih baik. Al-Araf menyebut, impunitas atau ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan kasus HAM berat masih jadi persoalan. Orang-orang yang diduga telah melakukan pelanggaran di masa lalu malah menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan.
Bersamaan dengan itu, masih adanya perilaku kekerasan yang dilakukan oleh aparat maupun warga sipil, juga belum tuntasnya kasus Munir, merupakan PR besar yang mesti segera dibereskan pemerintah.
Kasus Munir ini ironi. Pembunuhan yang dilakukan dengan cara keji terhadap seorang aktivis mestinya tidak terjadi di era demokrasi. Tindakan itu merupakan tindakan yang hanya terjadi pada suatu rezim yang otoriter.
Sementara itu Setara Institute memberinya nilai merah untuk penyelesaian perkara HAM di bawah kepemimpinan Jokowi. Ketua Setara Institute Hendardi memberikan nilai 4, karena selama dua tahun tak ada kemajuan. Totalnya ada 10 perkara HAM yang belum selesai ditangani dan berkasnya bolak-balik Kejaksaan Agung serta Komisi Nasional HAM. Beberapa di antaranya adalah perkara 65, kerusuhan Mei 98, serta peristiwa Talangsari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H