Mohon tunggu...
Adam Pakiah
Adam Pakiah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rakyat Pemegang Kedaulatan Sejati

7 Desember 2016   16:42 Diperbarui: 7 Desember 2016   16:55 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Mereka 240 juta itu, the silent majority dan the real power of the nation. Jangan salah baca, rakyatlah pemegang kedaulatan sejati!”

Kata-kata dalam pidato terakhir Susilo Bambang Yudhoyono  (SBY) sebelum meletakkan jabatan sebagai Presiden RI pada 2014 silam, kembali terngiang dewasa ini. Peringatan yang disampaikan untuk penggantinya itu, benar terbukti, hanya dalam selang waktu dua tahun.

Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sangat menggambarkan pesan SBY itu. Jika pemerintah lengah, tidak tegas dan tidak menjalankan aturan hukum yang setara, maka kekuatan rakyat akan muncul. Kekuatan yang akan sulit dibendung oleh siapapun.

Kasus Ahok memang sangat fenomenal. Sejak Negara ini berdiri, baru kali ini aksi damai dilakukan jutaan rakyat dengan turun ke jalan menuntut keadilan. Rakyat terluka, agama dan ulama mereka dihina, kitab sucinya dinista, tetapi pemerintah tidak hadir. Wajar mereka merasa Ahok dilindungi, kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo tidak bisa ditutupi.

Apalagi, anggapan masyarakat selama ini Ahok dikenal sangat kuat, punya ilmu kebal, sehingga tidak mempan terhadap hukum. Bahkan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian sendiri menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mampu menangkap Ahok dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. “Bayangkan beberapa kali juga diperiksa KPK tidak bisa jadi tersangka. Tapi, setelah ditangani Polri, sudah jadi tersangka. Proses hukumnya terus berjalan," kata Tito di hadapan jutaan umat Islam yang menggelar doa dan shalat Jum’at di Monumen Nasional pada 2 Desember 2016.

Apakah Ahok memiliki kedekatan dengan KPK atau ia dilindungi oleh kekuatan yang lebih besar dari lembaga anti rasuah itu, tidak ada yang tahu saat ini. Namun, kecurigaan masyarakat terhadap “ilmu kebal" Ahok setidaknya bisa ditelisik dari sejumlah persoalan yang dialaminya selama menjabat gubernur.

Salah satunya adalah persoalan penggusuran pemukiman kumuh dan reklamasi Teluk Jakarta. Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang tampil menentang langkah-langkah Ahok yang dinilai secara hukum melanggar aturan, harus terdepak dari jabatannya. Upaya  “si Rajawali Ngepret" itu menghentikan reklamasi berujung pemecatan dirinya dari kabinet menteri Jokowi. Reklamasi yang sempat terhenti, jalan kembali.

LSM Kalahkan BPK

Kehebatan sepak terjang Ahok tidak hanya dirasakan Rizal, namun juga didera Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga audit resmi pemerintah itu “kalah saing” dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), sebagai pemasok bahan pertimbangan KPK dalam memutuskan perkara.

BPK telah menegaskan bahwa pengadaan lahan RS Sumber Waras tidak melalui proses yang memadai sehingga berindikasi merugikan keuangan daerah senilai Rp191,33 miliar. Temuan itu atas pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2014.

"Dari hasil pemeriksaan, clear (jelas), BPK menemukan adanya penyimpangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara," kata Kepala Direktorat Utama Perencanaan Evaluasi dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK, Bakhtiar Arif, Rabu (12/4).

Namun, KPK memiliki pandangan berbeda. Ketua KPK, Agus Rahardjo, menyebut pihaknya memutuskan Pemprov DKI Jakarta tidak menyalahi aturan dalam pembelian lahan itu, karena tidak ada unsur melawan hukum dan merugikan negara.

Menurutnya, KPK telah memeriksa hasil audit tersebut dan memverifikasinya selama enam bulan. Mereka meminta keterangan para ahli dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan lembaga seperti Masyarakat Profesi Penilaian Indonesia (MAPPI).

"Penyidik kami tidak menemukan perbuatan melanggar hukum dan tidak ada indikasi kerugian negara. Dari situ kan (kasusnya) sudah selesai. Karena perbuatan melawan hukumnya dan kerugian negara tidak ada kan (penyelidikan) sudah selesai," kata Agus, di saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (15/6/2016).

Sontak, pernyataan Agus itu mendapat kritikan dari wakil rakyat. Mereka menyesali KPK lebih memercayai LSM dibanding hasil audit dari lembaga resmi pemerintah. Apalagi, audit investigasi yang dilakukan BPK itu merupakan permintaan dari Taufiqurrahman Ruki, plt pimpinan KPK sebelumnya.

“Saya tidak habis pikir dari pimpinan KPK saat ini. Masa lebih percaya sama MAPPI daripada BPK, badan resmi pemerintah. Undang-Undang Dasar jelas menyampaikan auditor negara satu-satunya adalah BPK. Kalau enggak percaya sama BPK, mau sama siapa lagi? KPK akan berjalan sempurna jika BPK difungsikan. Jadi jangan sampai Anda (KPK) suka-suka,” cetus Junimart Ginsang dari Fraksi PDI Perjuangan.

Tersandera BLBI

Unjuk kekuatan Ahok juga terlihat dalam isu deparpolisasi yang sempat kisruh beberapa waktu lalu. Ahok yang awalnya berniat meninggalkan PDI Perjuangan dengan maju di Pilkada DKI Jakarta melalui jalur perseorangan, sempat terlibat perang opini dengan sejumlah kader partai berlambang banteng tersebut. Sekretaris DPD PDIP DKI Prasetio Edi Marsudi bahkan menyebut jalur perseorangan merupakan perwujudan paham liberal. Untuk konteks Indonesia, kata dia, peran parpol juga sebagai wadah pertanggungjawaban kepala daerah yang diusung.

"Secara tata negara, deparpolisasi adalah pelemahan. PDIP melawan deparpolisasi. Lagipula, independen itu kan liberal. Maksud dan tujuannya sah, tapi tidak ada payung hukum dan undang-undangnya,” ujar Prasetio.

Namun, karena diduga tidak mampu mengumpulkan satu juta KTP sebagai syarat maju sebagai independen, Ahok kembali merapat ke PDIP. Melalui jalur Presiden Jokowi, rekannya saat memimpin DKI Jakarta, Ahok menemui Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Megawati akhirnya setuju mendukung Ahok di pilkada. Disandingkan dengan kader partai sebagai wakil, Djarot Saiful Hidayat, PDIP bergabung dengan tiga partai yang sebelumnya sudah menyatakan dukungan, Partai Golkar, Nasdem dan Hanura. Semua pertikaian yang selama ini terjadi antara Ahok dengan kader PDIP, seolah dilupakan. Tidak ada dendam, tidak ada lagi kemarahan. Banyak pihak yang mengartikan sikap legowo Megawati itu, tidak seperti biasanya.

Bahkan juru bicara presiden era KH Abdurrahman Wahid, Adhie M. Massardi, menyebut dukungan Megawati terhadap Ahok bukan karena mahar politik. Namun ada ancaman besar yang bisa menjerat ketum PDIP tersebut jika tidak mendukung Ahok.

“Saya tidak melihat Mega dijanjikan uang, tapi saya lebih melihat karena adanya ancaman. Apa ancamannya? Kasus BLBI tiba-tiba dibuka kembali oleh KPK. Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba Basaria pada 15 September kemarin menyatakan kasus BLBI masih terbuka,” ungkap Koordinator Gerakan Indonesia Bersih tersebut.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan penanganan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) belum dihentikan. Saat ini, perkaranya masih dalam tahap penyelidikan. Perkara tersebut belum masuk ke tahap penyidikan sebab alat buktinya belum cukup. KPK dalam hal ini masih butuh pengembangan.

Saat menjadi Presiden RI, Megawati menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI melalui Inpres No 8 tahun 2002. Inpres untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi 21 obligor yang dinyatakan telah menyelesaikan kewajiban utangnya kepada pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Ternyata, setelah penerbitan SKL sebagian besar obligor yang diberi stempel lunas belum menyelesaikan utangnya kepada negara. Kasus BLBI yang mencapai ratusan triliunan rupiah menjadi skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. “Kasus BLBI ini yang dipersoalkan SKL, Surat Keterangan Lunas yang diberikan pemerintahan Megawati,” ujar Adhie.

Meski begitu, Ahok akhirnya harus tunduk kepada kekuatan rakyat. Ucapannya yang telah menyayat hati umat Islam, pemeluk agama mayoritas di negeri ini, harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Siapapun yang membelanya, apakah itu penegak hukum atau penguasa, kekuatan rakyat tetap berada di atasnya. Seperti ungkapan Mantan Presiden Soekarno, “Kekuasaan seorang presiden ada batasnya, karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun