Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lensa Buram Demokrasi Meneropong Tahun Politik 2018

2 Januari 2018   03:58 Diperbarui: 2 Januari 2018   05:01 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlu dipahami bahwa negara akan bertahan hidup bukan karena undang-undangnya, tapi karena kekuasaan legislatif yang membentuk undang-undang dan mempertahankannya. Selama kekuasaan --yang berasal dari rakyat-- dijalankan sebagai keinginan souverein (yang berdaulat) maka negara masih akan tetap ada.

Namun bagaimana kedaulatan itu berlangsung? Kekuasaan souverein inilah yang akan diuji pada tahun politik mendatang. Rakyat diharapkan dapat turut berpartisipasi dalam pesta demokrasi yang tiada lain merupakan saluran kehendak/kedaulatannya sebagai warga negara.

Keadaan politik saat ini akan sangat berpengaruh pada kondisi yang mungkin timbul pada tahun mendatang. Muaranya akan meletup dalam dua kubah: pertama, rakyat semakin tidak percaya dengan politik yang ada, termasuk hukum dan sistem ketatanegaraan; serta yang kedua, mengikuti arus budaya politik sebagai pilihan keselamatan (survival).

Kondisi Pertama, ketidakpercayaan masyarakat terbentuk oleh karna banyak hal, seperti: adanya penilaian bahwa partai politik lebih fokus mengejar kekuasaan dan tidak memedulikan kepentingan rakyat. 

Hal ini dinilai dari tidak nampaknya program nyata partai yang pro rakyat. Ketidakpercayaan juga timbul akibat sejumlah kader dan elit politik yang terjerat hukum, terutama korupsi. Hingga dari itu semua, rakyat menganggap partai politik hanyalah agen kompetisi (adu) kekuasaan dan ajang kontestasi figur (idol politics) dengan berbagai trick marketing dan kekuatan modal.

Seperti yang sudah-sudah dan terjadi di hampir setiap pemilihan umum, ketidakpercayaan itu memunculkan sikap apatis yang diam. Dinyatakan dengan ketidakikutsertaan memilih, dan setia menjadi 'golput'.

Lain halnya dengan sikap apatis yang diam, fenomena populisme di Indonesia dewasa ini jelas menunjukkan sikap kritis yang tidak lagi hanya mengkritik sistem politik dan hukum, namun juga mulai meragukan demokrasi sebagai sistem berbangsa dan bernegara yang tepat. 

Sayangnya, ketidakpekaan aparatur negara yang cenderung malas dalam menjawab problematik bangsa dan kebutuhan warga akan keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan, terbentuk dalam banyak tindakan instan yang tidak menyelesaikan masalah utama, namun justru menimbulkan masalah selanjutnya.

Keengganan berdialog maupun membuka ruang aspirasi memperkuat penilaian bahwa rantai demokrasi kehabisan pelumas, haluan politik salah kemudi, dan penegakan hukum berada dalam rel yang kusut. Kondisi negara yang lemah ini akibat keengganan politik atas penegakan hukum dan HAM, terutama bagi kelompok minoritas dan rentan.

 Alih-alih mengatasi keadaan darurat kekerasan, diskriminasi, kriminalisasi, hingga persekusi pada kelompok minoritas dan rentan, penyelenggara negara memilih pembubaran ormas sebagai hal yang lebih darurat. 

Disetujuinya perppu menjadi UU Ormas adalah bentuk kekuasaan politik atas supremasi hukum. Fiat justitia et pereat mundus; sedangkan keadilan tidak dapat ditunda maupun disangkal, maka penyangkalan atasnya saat ini harus pula dengan menyiapkan diri mengambil risiko menuai friksi kehidupan berbangsa, erupsi politik, dan gejolak hukum di masa-masa mendatang.

Kondisi Kedua, budaya politik carut-marut yang dibawa oleh agen politik saat ini dan sebelumnya akan tersosialisasi pada individu-individu warga negara dalam melihat norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai di dalam kehidupan bernegara. 

Hingga terserap oleh generasi-generasi sesudahnya, dan mengakar dalam perilaku masyarakat-politik yang terbangun dalam budaya politik yang telah rusak.

Dalam frame demokrasi, sulit sekali membangun harapan dan optimisme dalam meneropong apa yang akan terjadi di tahun-tahun politik ke depan. Tahun politik, tahun pesta demokrasi, akan tergambar dalam lensa buram yang dikotori oleh jamur-jamur politik yang sulit dibersihkan.

Friksi dalam hajatan politik yang telah lalu, yang memuluskan jalan politik identitas, telah membuat masyarakat sipil semakin gagal berkonsolidasi dalam membangun cita-cita berbangsa dan bernegara. Terjebak dalam politik dukung mendukung yang dimainkan oleh para aktor politik.

Proses penegakan hukum yang tidak berjalan pada para pelaku ujaran kebencian di ruang-ruang publik pun telah memberikan kepuasan dan kepercayaan diri lebih, hingga berpotensi dicontoh secara masif dan dijadikan model dalam strategi politik elektoral. 

Politik identitas --fragmentasi masyarakat dalam identitas gender, kepercayaan, ras, agama, etnis, juga ekonomi--, masih akan menjadi mainan dan alat politik di pemilukada maupun pemilu serentak mendatang.

Tingkat perkembangan masyarakat dalam kesadaran berpolitik dan bernegara dapat memengaruhi pola penegakan hukumnya (Philip Selznick). Semakin sulitlah membangun budaya politik yang memiliki state capacity dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam menyelesaikan krisis nasional, jika elit politiknya yang justru menjadi biang masalah dan sumber krisis.

Begitu sulitnya meletakkan moral atas hukum, sedangkan moral pembuat undang-undang niscaya dapat menciptakan undang-undang yang terhormat yang dari waktu ke waktu semakin dipercaya oleh rakyat. 

Dengan itu semua, moralitas hukum yang masuk ke dalam perilaku kehidupan mengubah naluri kebebasan individu menjadi rasa keadilan komunal yang berangkat dari kepentingan umum. Keadilan menjadi milik dan diperjuangkan bersama.

Maka, jika masyarakat mendambakan lahir dan tegaknya hukum yang mencerminkan dan memenuhi rasa keadilan, haruslah lebih dahulu diupayakan penataan kehidupan politik yang demokratis, bertanggung jawab, dalam semangat bernegara yang bukan 'politics for itself', namun yang menjalankan konstitusi demi kebaikan bersama.

Politiae legius non leges politii adoptandae; untuk mewujudkan itu semua, hukum tidak boleh kalah oleh politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun