Kondisi Kedua, budaya politik carut-marut yang dibawa oleh agen politik saat ini dan sebelumnya akan tersosialisasi pada individu-individu warga negara dalam melihat norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai di dalam kehidupan bernegara.Â
Hingga terserap oleh generasi-generasi sesudahnya, dan mengakar dalam perilaku masyarakat-politik yang terbangun dalam budaya politik yang telah rusak.
Dalam frame demokrasi, sulit sekali membangun harapan dan optimisme dalam meneropong apa yang akan terjadi di tahun-tahun politik ke depan. Tahun politik, tahun pesta demokrasi, akan tergambar dalam lensa buram yang dikotori oleh jamur-jamur politik yang sulit dibersihkan.
Friksi dalam hajatan politik yang telah lalu, yang memuluskan jalan politik identitas, telah membuat masyarakat sipil semakin gagal berkonsolidasi dalam membangun cita-cita berbangsa dan bernegara. Terjebak dalam politik dukung mendukung yang dimainkan oleh para aktor politik.
Proses penegakan hukum yang tidak berjalan pada para pelaku ujaran kebencian di ruang-ruang publik pun telah memberikan kepuasan dan kepercayaan diri lebih, hingga berpotensi dicontoh secara masif dan dijadikan model dalam strategi politik elektoral.Â
Politik identitas --fragmentasi masyarakat dalam identitas gender, kepercayaan, ras, agama, etnis, juga ekonomi--, masih akan menjadi mainan dan alat politik di pemilukada maupun pemilu serentak mendatang.
Tingkat perkembangan masyarakat dalam kesadaran berpolitik dan bernegara dapat memengaruhi pola penegakan hukumnya (Philip Selznick). Semakin sulitlah membangun budaya politik yang memiliki state capacity dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam menyelesaikan krisis nasional, jika elit politiknya yang justru menjadi biang masalah dan sumber krisis.
Begitu sulitnya meletakkan moral atas hukum, sedangkan moral pembuat undang-undang niscaya dapat menciptakan undang-undang yang terhormat yang dari waktu ke waktu semakin dipercaya oleh rakyat.Â
Dengan itu semua, moralitas hukum yang masuk ke dalam perilaku kehidupan mengubah naluri kebebasan individu menjadi rasa keadilan komunal yang berangkat dari kepentingan umum. Keadilan menjadi milik dan diperjuangkan bersama.
Maka, jika masyarakat mendambakan lahir dan tegaknya hukum yang mencerminkan dan memenuhi rasa keadilan, haruslah lebih dahulu diupayakan penataan kehidupan politik yang demokratis, bertanggung jawab, dalam semangat bernegara yang bukan 'politics for itself', namun yang menjalankan konstitusi demi kebaikan bersama.
Politiae legius non leges politii adoptandae; untuk mewujudkan itu semua, hukum tidak boleh kalah oleh politik.