Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika Majelis MKD Tidak Paham Cara Bersidang, Anggap Saja Khilaf atau Mungkin Mereka Lelah

6 Desember 2015   12:17 Diperbarui: 6 Desember 2015   21:42 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIDANG MAHKAMAH POKROL-POKROLAN

Rakyat bertanya, hendak dibawa kemana kisah kehormatan dewan ini oleh para Yang Mulia? Mahkamah Kehormatan Dewan tidak lagi menjalankan sidang etik. Polarisasi anggota MKD terbentuk bukan untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan dewan namun sekedar untuk melindungi dan membela jagoannya –Ketua DPR Setya Novanto.

Proses sidang menjadi sorotan utama, menanggapi pertanyaan sejumlah anggota MKD yang mengada-ada dan keluar dari konteks. Anggota MKD gagal-fokus menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan perkara, yakni pelanggaran etik dengan subjek Setya Novanto yang dibuktikan dengan rekaman pembicaraan.

Alih-alih membahas pokok perkara etik dari Novanto, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan justru lebih bersifat interogatif dan menyudutkan saksi, baik pada Sudirman Said sebagai pengadu maupun Maroef Sjamsoeddin sebagai saksi yang merekam. Hingga pertanyaan masyarakat berlanjut: Jadi, MKD sedang menyidang apa dan siapa?

Para anggota dewan-yang-mulia terus berkelak-kelok menghabiskan waktu mereka yang berharga dalam pertanyaan-pertanyaan perihal: saksi yang hanya satu orang tidak bisa disebut saksi; merekam pembicaraan tanpa izin adalah pelanggaran hukum; motivasi perekam dan pengadu; dan lebih konyol lagi dengan pernyataan yang lebih mirip curcol, seperti: kalau mau merekam seharusnya memakai alat yang canggih, karena kualitas rekamannya sangat mengganggu untuk didengarkan. (heloooww.. ada yang salah dengan microphonenya, atau dengan earphonenya?

Anggota dewan-yang-mulia dengan penuh semangat menegaskan bahwa sidang ini mengikuti prinsip-prinsip sebagaimana sidang peradilan hukum, namun di saat yang sama pula justru mempertunjukkan ketidakpahaman mereka pada prinsip hukum yang dimaksud. Benar-benar tidak tahu, atau sebenarnya mencari celah hukum?

..ini pokrol-pokrolan.

 

Sebenarnya, sidang MKD hendak memutus materi perkara yang tidak terlalu rumit, maka tidak perlu bertele-tele. Fakta yang ingin diungkap adalah: apakah benar telah terjadi pelanggaran etik oleh Novanto? Pelanggaran etik yang dimaksud adalah pelampauan wewenangnya sebagai Ketua DPR, dengan mengatur pertemuan dan negosiasi sebagai bentuk intervensi perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia, yang merupakan wilayah kewenangan eksekutif.

Fakta yang dimaksud dapat dibuktikan dengan mengusut barang bukti berupa rekaman pembicaraan yang dilakukan oleh Maroef Sjamsoeddin. Maroef telah diperiksa, dan menyatakan bahwa rekaman tersebut adalah benar miliknya, dan tidak diubah isinya. Jadi, penyidangan pokok perkara ini senyatanya telah selesai, dimana telah dilakukan pelanggaran etik oleh Ketua DPR Setya Novanto, dan telah terbukti.

--------

 

Supaya tidak menjadi perdebatan berkepanjangan dan berubah menjadi diskusi pokrol-pokrolan, ada baiknya kita melihat lebih jelas beberapa prinsip hukum versi ‘pokrol bambu’ Yang Mulia dalam rangka membebaskan Sang Putera Mahkota:

“Kalau hanya ada satu Saksi, dalam kacamata hukum, bukanlah saksi.”

Jika kita masih hidup di era kolonial Belanda, tidak salah jika prinsip yang dikenal dengan istilah “unus testis nullus testis” ini masih dipakai. Prinsip ini mensyaratkan dua orang saksi atau lebih untuk dapat dipakai sebagai alat bukti, yang dalam sejarahnya prinsip ini diangkat agar tidak dimunculkan fitnah.

Dalam perkembangan hukum selanjutnya, baik di Negeri van Oranje sendiri maupun di Indonesia telah menterjemahkan lebih luas makna “unus testis” sebagai bagian dari seluruh alat bukti yang ditampilkan di persidangan. Hukum pidana mengenal lima alat bukti dengan “keterangan saksi” sebagai salah satu di antaranya, dan dibutuhkan setidaknya dua alat bukti sebagai dasar pertimbangan hakim untuk memutus perkara.

Hukum Pidana juga dengan hukum acaranya tidak memberikan syarat harus ada dua orang saksi atau lebih untuk memenuhi syarat “keterangan saksi” sebagai alat bukti. Pasal 185 ayat (2) KUHAP hanya mengatur bahwasanya seorang saksi hanya boleh dipercaya atau dapat digunakan sebagai dasar bahwa dalil gugatan secara keseluruhan terbukti, hanya jika didukung oleh alat bukti lainnya. Jadi, jika hanya ada satu orang saksi saja, namun pernyataannya tidak bertentangan dan/atau diperkuat oleh alat bukti lainnya (keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan/pengakuan terdakwa) maka pernyataan saksi tersebut dapat dipakai menjadi alat bukti.

Dalam kasus Novanto, tidak perlu dipaksakan menghadirkan saksi lain. Meskipun anggota dewan-yang-mulia keukeuh bahwa Sudirman Said tidak memenuhi kriteria sebagai saksi, namun keterangan saksi Maroef Sjamsoeddin bersama bukti rekaman percakapan yang diakui keasliannya, telah cukup untuk dipergunakan oleh Majelis untuk memutus perkara.

Tampak sekali para Yang Mulia memaksakan harus ada dua orang saksi, yang artinya harus menghadirkan Riza Chalid, yang entah sekarang ada di mana.

Mari kita melihat dan mencontoh banyak kasus kejahatan pelecehan seksual atau pemerkosaan, yang hampir pasti hanya ada dua pihak: pemerkosa dan yang diperkosa. Bisa dibayangkan, jika prinsip hukum kolonial ini masih diberlakukan, keterangan korban yang hanya dihitung sebagai satu saksi (unus testis) tidak bisa dipakai oleh hakim, bahkan oleh hukum itu sendiri untuk memidanakan ‘penjahat kelamin’.

..sadis, ‘kan?!

 

“Merekam pembicaraan tanpa izin adalah pelanggaran hukum.”

Ini adalah pemahaman para pokrol-bambu-jadul yang tidak pernah mau “move on”. Dalam sistem hukum di Indonesia tidak terdapat pengaturan yang tegas apakah perekaman suara harus dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak. Perekaman suara terhadap kejadian nyata secara langsung dengan menggunakan kamera/alat rekam/handphone, atau jenis gadget lainnya yang dimaksud bukanlah termasuk dalam pelanggaran Pasal 31 UU ITE, sebagaimana dalih yang muncul dalam Sidang MKD.

Yang Mulia anggota majelis MKD harus bisa memahami beda arti dari dua kata yang sederhana ini: “merekam” dan “menyadap”.

Pengaturan konteks materil dalam kejahatan siber yang diatur oleh Undang-Undang No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengacu pada European Convention on Cybercrime 2001, yang dalam beberapa pasalnya mengatur tentang intersepsi (penyadapan) ilegal. Intersepsi yang dimaksud dilakukan atas informasi atau dokumen elektronik ketika komunikasi sedang dalam proses transmisi. Sedangkan suara yang diucapkan pada waktu kejadian (nyata secara langsung) tidak termasuk dalam informasi atau dokumen elektronik. Merekam adalah beda dengan menyadap, karena dalam merekam suara nyata secara langsung tidak terdapat adanya “transmisi” informasi elektronik yang diintersep.

Maroef Sjamsoeddin tidak melakukan aktivitas penyadapan atas pembicaraannya dengan Novanto dan Riza. Yang dilakukan oleh Maroef adalah merekam pembicaraan tersebut dengan menggunakan handphonenya secara langsung di tempat peristiwa. Jadi, tidak ada satupun pasal pidana yang dilanggar oleh Maroef.

Sayangnya, para majelis MKD yang mengeroyok Maroef dengan rentetan prinsip hukum yang terdengar hebat itu sepertinya bahkan lupa dengan doktrin mendasar curia novit jus –pengadilan dianggap mengetahui segala hukum positif dan hukum yang hidup di masyarakat (living law). Jika kita tidak melihat hal tersebut sebagai upaya majelis dalam menggali/menterjemahkan hukum dengan salah logika, baiklah kita anggap saja mereka khilaf, atau ..mungkin mereka lelah.

Yang Mulia Majelis Kehormatan Dewan, saatnya saudara-saudara tampil terhormat dan berwibawa! Supaya kami tidak terus berburuk sangka, bahwa apa yang ada di dalam ternyata lebih buruk dari apa yang kami pikirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun