Mohon tunggu...
Achsania Devi Fatika
Achsania Devi Fatika Mohon Tunggu... Freelancer - Newbie Teacher

Word of Affirmation sekali orangnya

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Emang Boleh Se-paper ini?

31 Agustus 2023   11:31 Diperbarui: 31 Agustus 2023   13:01 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai newbie di dunia pendidikan, ada yang lebih mencengangkan dari pengalaman saya selama sekolah dan kuliah sebagai peserta didik. Salah satunya adalah budaya 'segalanya butuh kertas'.

Sesederhana kebutuhan harian seperti penilaian siswa, absen, jurnal, dll. harus berbentuk fisik, tentu saja fisiknya kertas. I mean, pengalaman saya selama kuliah, kita sudah memakai absen, penilaian, pengumpulan tugas, dan administrasi dalam bentuk digital, hanya beberapa hal saja yang membutuhkan bentuk fisik.

Oke, jika itu hanya sebatas absen, penilaian, modul ajar atau rpp lah, yang beberapa lembar. Tapi sekarang coba lihat berapa banyak kertas yang dikeluarkan dalam waktu 6 bulan per-guru saja, kemudian akumulasikan dengan total jumlah guru. Jika semua kebutuhan itu dicetak dalam satu hari, bisa menghabiskan sangat banyak rim kertas untuk administrasi yang sebenarnya bisa digitalisasi.

Ini sangat tidak sinkron dengan gembar gembor era revolusi industri 4.0, 5.0, atau era digital, jika memang iya, everything need to be paperless right? kenapa masih kertas banget?

Dengan akses internet yang sudah mudah dan teknologi yang sudah tersedia, kita harus belajar beradaptasi dan beralih ke era yang sesuai.

Bukankah teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia?

Dengan dana yang 'menghilang' menjadi kertas itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan siswa atau guru lain yang lebih berguna. Pada akhirnya kertas kertas itu juga tidak akan dicek lagi.  Khususnya untuk administrasi harian siswa dan guru.

Masalahnya, bukan hanya 'memakan' dana, tumpukan kertas ini sangat memakan tempat. Iya, tempat. Jika satu guru menumpuk atau katakan menata berkasnya satu semester dalam satu box file, ada berapa box file itu dalam beberapa tahun ke depan? Apakah itu masih berguna?

Box file bisa digitalisasi sebagai "folder"

Lebih mudah kan disimpan dalam bentuk folder dan kita tinggal "search" di dalam gadget kita. Beres.

Kalau bentuknya fisik? Mau tidak mau ya harus ubrek-ubrek manual.

Buang buang waktu dan tenaga

Masalah kertas ini bukan hanya di dunia pendidikan, saya rasa di banyak bidang juga masih stuck di era kertas dan manual. Padahal semua lebih efisien dan efektif dengan digital.

Lihat saja tumpukan berkas pelamar kerja, kenapa tidak dibuat digital saja? Bukti fisik kan bisa discan? Pada akhirnya kertas itu menjadi sampah, kasihan pelamar kerja yang menyisihkan uang untuk membeli amplop, mencetak foto dan administrasi yang dibutuhkan.

Ada lagi nih urusan birokrasi, yang harusnya bisa real-time langsung bisa diakses, tapi masih memilih untuk dengan cara manual, lewat A baru B baru C bagaikan paket belanja online shop yang transit di berbagai tempat. Padahal itu data bisa langsung dikirim satu detik saja seperti kita mengirim pesan lewat aplikasi.

Guyonannya sih gini: "katanya e-ktp, tapi masih fotokopi "

Mungkin sebagian oknum di Indonesia masih menganut prinsip "kalau ada yang susah, kenapa harus mudah?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun