Ku lihat dia tersenyum. Wajahnya cerah dan lanjut bertanya kepadaku. “Apa kamu yakin anak muda, langkahmu itu murni tidak di landasi atas dasar kepentingan?”
Aku tak bisa menjawab, aku tertunduk, aku teringat teman-teman seperjuanganku yang bertindak atas dasar kepentingan. Apalagi mereka yang namanya duduk di dewan mahasiswa, aku teringat bagaimana mereka melakukan kecurangan-kecurangan saat pemilihan umum mahasiswa, aku teringat ketika aku mencoblos puluhan surat suara hanya untuk kepentingan partai. Aku juga mengakui aksi di kampus hanya diracuni dari ambisi deklarasi gerakan semata. Aku juga membenarkan, ketika diskusi hanya mencari pembenaran yang dibuat sedemikian rupa agar supaya meyakinkan. Seminar kebangsaanpun kuikuti hanya sebatas cari hiburan, literasi yang kutulis juga sebatas pencitraan. Aku semakin tertunduk, melihat hitamnya tanah di bawah kakiku, sehitam perjuanganku.”
“Itu baru di level kampus anak muda, itu saja penuh kebohongan, ketidakjujuran dan ambisi. Bagaimana jadinya negeri ini, jika di gedung wakil rakyat sana isinya juga demikian? ”kata lelaki tua itu sambil menepuk-nepuk pundakku, seakan tau apa yang sedang melaju dalam pikiranku.
“Belum terlambat anak muda, saat ini mulailah bertindak atas dasar kejujuran, bukan atas ambisi kepentingan. Waktu aku seusiamu, aku punya teman namanya Soe Maun. Dia pintar dan berani, dia mengajakku bergabung dengan sebuah organisasi, sebagai perlawanan kepada kolonial dari kaum tertindas. Karena, kami menyadari betul, perjuangan harus dimulai dari mereka yang tertindas. Kami juga melakukan perjuangan dengan mendirikan partai, memobilisasi kaum buruh sebagai kekuatan untuk menumbangkan tirani. Tapi sayang, justru kami berdua diasingkan, bahkan Soe Maun, aku tak tau kabarnya”.
Lelaki tua itu diam beberapa detik seperti menahan marah dan sedih yang tak bisa di luapkan. “Anak muda, lanjutnya,…
“Apa yang kau kerjakan saat ini memang jauh dari harapan rakyat, aku tahu kamu dikepung oleh intervensi kekuatan yang tumbuh subur mengepung langkahmu, kulihat juga kau amat susah untuk menggerakan teman-temanmu yang sepaham, langkahmu juga sudah terkontaminasi virus kebencian antar sesama. Belajarlah dari sejarah gerakan masa lalu, anak muda!” .
Aku membuang sejuta rasa malu untuk mengangkat mukaku. Kulihat dia menghisap rokoknya dalam-dalam, membuang dan kemudian menginjaknya. Dia pakai topi jerami yang sedari tadi tergeletak di samping kanan tempat duduknya, mengambil tongkat kayu lalu berdiri.
Sebelum pergi dia berucap “Banyak persoalan yang belum selesai di Negeri yang kaya ini anak muda, terutama kemiskinan. Bukankah dinegeri ini si miskin seperti rokok, dihisap tenaganya, bila habis dan sudah tak berguna, lantas dibuang dan pada akhirnya diinjak-injak.”
“Aku titipkan mereka padamu, anak muda”. Kata lelaki tua itu sambil melangkahkan kakinya meninggalkanku.
Sontak aku berdiri dan berteriak, “Siapa namamu, Bapak tua.?
“Orang biasa memanggilku, Datuk Ibrahim...,” jawabannya terdengar lirih di telingaku,