Mohon tunggu...
Syarief-Ahmad
Syarief-Ahmad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rakyat pada umumnya, biasa-biasa saja, nggak ada yang istimewa.. bocahsore.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Lelaki Tua itu Ternyata...

20 April 2017   18:51 Diperbarui: 21 April 2017   04:00 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore hari itu cerah, di bawah pohon rindang, aku pandangi gedung mewah nan megah bercat putih yang nampak angkuh memandang tubuhku. Aku seperti anak kerdil yang tak pantas untuk menginjakkan kaki di tempat mewah semacam ini. Hanya di pelataran jauh depan gedung aku berani mengadu, ya di tempat ini, tempat yang menjanjikan kenyamanan bagi siapa saja yang ingin sekedar melepas lelah dari rutinitas kampus ataupun kehidupan yang mulai terasa membosankan.

Semilir angin mengelus rambutku yang kusut, sedikit menenangkan laju pikirku yang kalut. Di gedung megah itu, nampak sedang diadakan  hajatan berskala besar. Hari ini terlihat banyak orang sibuk berlalu lalang, Mobil-mobil mewah yang mengkilap berjejeran di parkiran. Nampak pula banyak berjejeran kursi dan meja tamu-tamu VIP. Para tamu mengenakan jas-jas mahal dan kebaya-kebaya mewah merk butik terkenal.

Sebelum aku duduk nyaman, tadi aku sempat bertanya kepada seorang tamu undangan yang keluar gedung sambil membawa semangkuk zupazup.

“Pernikahan siapakah ini ya Pak? Para undangan yang hadir nampak sekali dari kaum borjuis?” “Pernikahan anaknya pejabat dengan anak eksportir mebel,” jawab lelaki paruh baya itu sambil memasukkan sendok kecil kuah zupazup ke mulutnya. Persis seperti tebakanku, pernikahan akbar sedang dihajatkan, jelas ini bukan acaranya rakyat,tetapi hajatan seorang pejabat yang menikahkan putrinya dengan seorang lelaki calon pewaris tahta pengusaha mebel kelas kakap.

Dapat kulihat juga beberapa orang berseragam putih berlari lari kecil  menyiapkan konsumsi. Ada kambing guling, nasi rawon, bakso daging sapi,nasi goreng, daging rendang dan lain-lain,kelihatannya sangat merongrong perutku yang belum kuberi makan sejak pagi.

“Ah peduli apa mereka dengan diriku yang lapar ini”, gumamku,

Sedetik kemudian persis di depanku, melintas angkuh mobil sport mewah, berwarna hitam mengkilap dengan beberapa iringan polisi berjejer mengawal, lalu turun seorang lelaki berjas hitam, dengan rambut tersisir rapi, celana hitam menjadi padanan yang pas.

Aku asyik menikmati pemandangan ini, dengan sesekali menghayal, suatu hari nanti aku yang turun dari mobil sport itu dengan kawalan polisi, disambut teriakan-teriakan para loyalis, sedang didepanku terhampar lautan manusia yang antusias menunggu orasi politikku, ah rasanya senang sekali, seakan dunia dalam genggamanku.Aku mulai tersenyum sendiri.

Setiap hari tak perlu lagi risaukan nasi seperti hari-hariku selama ini, karena setiap pagi ada pelayan yang mengantarkan makanan, juga ajudan yang setiap hari bahkan setiap waktu mengawal. Sempurna sekali rasanya hidup seperti itu.

Di tengah khayalan yang tak kunjung menemui titik bosan, seorang lelaki tua menghampiriku dan meminta tempat duduk di sampingku. Lelaki tua itu tersenyum, dengan beberapa guratan memenuhi kening dan pipinya, ia memandangiku dengan sorot matanya menghujam , seperti menusuk mataku dengan pedang yang bermata tajam. Matanya menyala tanda keberanian, berbaju lusuh compang-camping di beberapa bagian pertanda kesahajaan pemakainya.Lelaki tua itu duduk tenang di sampingku, meletakan tongkat kayu dengan pandangan lurus kedepan, lalu melepas topi jeraminya.

“Apa yang kamu khayalkan anak muda”? lelaki tua itu bertanya  seakan tahu semua apa yang ada dalam pikiranku sejak tadi.

 “Tidak menghayal apa-apa Pak? Sedang menikmati semilir angin kenikmatan dari Tuhan, mungkin ini diciptakan untuk mengingatkan kita kepada keagungan Tuhan, bukankah begitu Pak?”, aku menjawab sekenanya saja dengan sedikit bumbu senyuman, berharap lelaki tua ini bisa kukelabuhi.

“Dulu waktu aku seusiamu, berbohong kepada Belanda rasanya segan, tetapi sekarang Negeri ini memang tampak suram, kejujuran sudah menjadi barang mahal yang susah untuk di temukan. Orang pintar dengan kepintaran ilmunya justru pandai mengelabui banyak orang. Bau busuk dibalut dengan parfum setebal apapun baunya akan tercium anak muda. Begitu juga kebohongan, dibalut dengan sejuta kata manis bahkan ditambah dengan senyuman sekalipun, jika itu bohong, akan tampak jelas pada akhirnya nanti.” lelaki tua itu berkata datar tanpa ekspresi.

Perkataan lelaki tua itu seperti tombak yang menghujam keras ke tubuhku, dan seketika mendarat tepat dijantungku. Senyum yang tadi sempat mengembang di bibirku kini mengatup secara perlahan.Aku tatap lekat-lekat wajah lelaki tua misterius yang duduk di sampingku, tapi yang kudapati hanya rahang pipi yang kering, perutnya kempis, tulang rahangnya  menonjol di balut kulit yang mulai mengeriput. Sementara pandangannya tetap lurus, berkelana jauh kedepan.

 Aku membulatkan tekad dan memberanikan diri bertanya, “Bapak ini siapa”?

Lelaki tua itu tak lantas menjawab pertanyaanku, dia merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan bungkusan plastik hitam. Ternyata berisi tembakau dan tapir, dia mencomot tembakau lantas membungkusnya dengan sehelai tapir, aku mengamati dengan seksama apa yang dilakukan lelaki tua bersahaja itu. Mataku terus mengamati setiap gerak tubuh lelaki tua di sampingku. Dia memijit- mijit tapir yang berisi tembakau itu sampai berbentuk seperti rokok simbahku.

Sejurus kemudian, Kulihat dia membakar dan menghisap rokok buatannya sendiri,tampak nikmat sekali, sementara aku masih menunggu jawaban dari pertanyaan yang sejak tadi aku lontarkan.

Tanpa harus aku mengulangi tanyaku, lelaki tua itu akhirnya berkata , “Tampaknya sejarah yang benar, belum sampai kepadamu anak muda, atau mungkin saja sejarah Negeri ini sudah pula dipalsukan dengan kebohongan?”

Aku tambah tak mengerti lelaki seperti apa yang sedang duduk bercengkerama denganku saat ini. Belum habis rasa heranku, dia melanjutkan perkataanya, “Anak muda, waktu takkan pernah menunggu dan memintamu berbuat lebih banyak untuk hidupmu, agamamu dan bangsamu, tetapi kamu sendiri yang akan menjemput waktu itu.Kapanpun dan dimanapun,  manfaatkanlah waktumu untuk berbuat demi sesama, bukan untuk nafsu pribadi”.

Terdiam aku mencerna kalimat yang terlontar dari mulut lelaki tua di sampingku.Sesaat kebisuan menyandera waktu, beberapa detik kami berdua lalui dengan diam. Hanya terdengar suara ranting yang bergesekan terhempas angin.

”Selama ini apa yang kau perbuat untuk bangsamu anak muda?” dia balik bertanya kepadaku.

“Aku masuk jadi kader pergerakan. Sering kali aku ikut demonstrasi turun di jalan, menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, sering juga aku memobilisasi massa untuk aksi di kampus ketika kampus sudah seperti penjara, yang mengekang kebebasan mahasiswa. Aku juga aktif diskusi, seminar kebangsaan dan aktif nulis beberapa literasi”, jawabku dengan bangga.

Ku lihat dia tersenyum. Wajahnya cerah dan lanjut bertanya kepadaku. “Apa kamu yakin anak muda, langkahmu itu murni tidak di landasi atas dasar kepentingan?”

Aku tak bisa menjawab, aku tertunduk, aku teringat teman-teman seperjuanganku yang bertindak atas dasar kepentingan. Apalagi mereka yang namanya duduk di  dewan mahasiswa, aku teringat bagaimana mereka melakukan kecurangan-kecurangan saat pemilihan umum mahasiswa, aku teringat ketika aku mencoblos puluhan surat suara hanya untuk kepentingan partai. Aku juga mengakui aksi di kampus hanya diracuni dari ambisi deklarasi gerakan semata. Aku juga membenarkan, ketika diskusi hanya mencari  pembenaran yang dibuat sedemikian rupa agar supaya meyakinkan. Seminar kebangsaanpun kuikuti hanya sebatas cari hiburan, literasi yang kutulis juga sebatas pencitraan. Aku semakin tertunduk, melihat hitamnya tanah di bawah kakiku, sehitam perjuanganku.”

“Itu baru di level kampus anak muda, itu saja penuh kebohongan, ketidakjujuran dan ambisi. Bagaimana jadinya negeri ini, jika di gedung wakil rakyat sana isinya juga demikian? ”kata lelaki tua itu sambil menepuk-nepuk pundakku, seakan tau apa yang sedang melaju dalam pikiranku.

“Belum terlambat anak muda, saat ini mulailah bertindak atas dasar kejujuran, bukan atas ambisi kepentingan. Waktu aku seusiamu, aku punya teman namanya Soe Maun. Dia pintar dan berani, dia mengajakku bergabung dengan sebuah organisasi, sebagai perlawanan kepada kolonial dari kaum tertindas. Karena, kami menyadari betul, perjuangan harus dimulai dari mereka yang tertindas. Kami juga melakukan perjuangan dengan mendirikan partai, memobilisasi kaum buruh sebagai kekuatan untuk menumbangkan tirani. Tapi sayang, justru kami berdua diasingkan, bahkan Soe Maun, aku tak tau kabarnya”.


  Lelaki tua itu diam beberapa detik seperti menahan marah dan sedih yang tak bisa di luapkan.  “Anak muda, lanjutnya,…

“Apa yang kau kerjakan saat ini memang jauh dari harapan rakyat, aku tahu kamu dikepung oleh intervensi kekuatan yang tumbuh subur mengepung langkahmu, kulihat juga kau amat susah untuk menggerakan teman-temanmu yang sepaham, langkahmu juga sudah terkontaminasi virus kebencian antar sesama. Belajarlah dari sejarah gerakan masa lalu, anak muda!” .

Aku membuang sejuta rasa malu untuk mengangkat mukaku. Kulihat dia menghisap rokoknya dalam-dalam, membuang dan kemudian menginjaknya. Dia pakai topi jerami yang sedari tadi tergeletak di samping kanan tempat duduknya, mengambil tongkat kayu lalu berdiri.

Sebelum pergi dia berucap “Banyak persoalan yang belum selesai di Negeri yang kaya ini anak muda, terutama kemiskinan. Bukankah dinegeri ini si miskin seperti rokok, dihisap tenaganya, bila habis dan sudah tak berguna, lantas dibuang dan pada akhirnya diinjak-injak.”

“Aku titipkan mereka padamu, anak muda”. Kata lelaki tua itu sambil melangkahkan kakinya meninggalkanku.

Sontak aku berdiri dan berteriak, “Siapa namamu, Bapak tua.?

“Orang biasa memanggilku, Datuk Ibrahim...,” jawabannya terdengar lirih di telingaku,

Seketika semilir angin yang tadi nyaman, sekarang menampar keras wajahku. Aku hanya bisa diam terpaku melihat punggung lelaki tua itu melangkah pergi dan akhirnya menghilang tanpa meninggalkan jejak di balik tikungan.

Sementara aku, terdiam lama dengan seribu bahasa yang tak bisa diungkap dengan kata, “Mungkinkah dia Tan Malaka”,batinku membisik. “Apakah benar dia Tan Malaka, tokoh revolusioner yang selama ini hilang di tikam waktu, dan tak ada seorang pun yang tahu dimana dia sekarang berada?” Aku melangkah dengan rasa tak percaya dan penuh tanda tanya yang terus meracuni pikiranku.

*Terinspirasi dari buku, "Penguasa Menindas Rakyat"


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun