Menulis Adalah Merekam Sejarah
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. --Pramudya.
Menulis adalah suatu proses perekaman sejarah, begitulah kiranya yang sampai hari ini saya asumsikan. Bagaimana tidak merekam sejarah? Ketika kita menulis maka secara tidak langsung terjadilah proses perekaman dari apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita dengar, semua terekam dalam bentuk catatan. Itulah sebabnya saya katakan menulis adalah merekam sejarah.
Kenapa hari ini kita mengenal Bung Karno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Kahlil Gibran, Rendra dan para orang hebat lainnya yang mengabadikan sejarah hidupnya dalam literasi. Jawabanya Cuma satu: karena mereka menulis. Mereka merekan sejarah hidup mereka, maka kemudian nama mereka abadi bersama dengan ‘karya rohani’ yang usianya lebih panjang dari sang penulisnya.
Sampai hari ini kita masih bisa menikmati karya rohani Bung Karno berjudul ‘Dibawah Bendera Revolusi’ yang masih sangat enak dibaca dan menjadi santapan kaya nutrisi untuk generasi kita maupun setelah kita nanti. Begitu juga dengan karya bapak bangsa yang terlupakan yakni Tan Malaka, kita bisa tahu semasa hidupnya beliau habiskan dalam pengembaraan demi terwujudnya indonesia yang merdeka 100 persen. Beliau keluar-masuk penjara tanpa jera, kelliling eropa dan di kejar-kejar pada intelegen. Sampai akhirnya dalam penjara itulah beliau masih sempat menulis, merekam sejarahnya dengan baik, terciptalah Dari Penjara ke Penjara, Madilog, Aksi Massa, Naar Republik dan masih banyak karya rohani beliau, suara nya sampai hari ini masih terasa nyaring di telinga kita dan bahkan untuk anak cucu kita nanti.
Lantas kemudian pertanyaan yang menghantui batok kepala kita, jika kita sampai hari ini tidak menulis, siapa yang akan merekam sejarah kita?
Itulah sebabnya, saya iri dengan meraka, para founding father di tengah keterbatasan alat untuk menulis, masih sempat menulis dan mencurahkan semua kegelisahnnya dengan sangat apik dan tentu mencerahkan. Kita bisa sama-sama bayangkan di tengah era sebelum kemerdekaan, amat begitu sulit mencari kertas dan alat tulis, mesin untuk menulis pada waktu itu kira-kira mungkin yang paling canggih hanya mesin ketik jadul, itu pun seribu satu orang yang memiliki, apalagi posisi mereka berada pada keadaan yang tidak sebebas hari ini, lantas, kenapa mereka masih bisa menulis beratus-ratus halaman. Sementara kita, satu halaman saja masih mood-mood-an.Bahkan terkadang timbul tenggelam tak menentu.
Berangkat dari kegelisahan itulah, kemudian saya mencoba untuk menggiatkan diri menulis, kebetulan entah mujur atau barangkali alam raya mendukung, saya dipertemukan dengan Pak Bramma Aji Putra (semoga beliau selalu sehat-amin), penulis buku menembus koran dan artikel layak jual ini selama menjadi mahasiswa dulunya adalah penulis artikel yang paling produktif, banyak artikel beliau yang melanglang buana di berbagai media massa baik lokal maupun nasional, baik online dan cetak. Saya bertemu beliau dengan kapasitasnya sebagai dosen mata kuliah penulisan artikel. Saya banyak menimba ilmu dari beliau.
Masih jelas teringat dalam tempurung kepala, saat itu saya tercatat sebagai mahasiswa semester lima di salah satu kampus Negeri berlabelkan Islam di kota Jogja. Salah satu doktrin yang waktu itu benar-benar ‘menghantui’ saya adalah ketika beliau berujar “kalian sekarang sttusnya adalah mahasiswa, jika kalian tidak menulis, siapa yang akan mencatat sttatus kemahasiswaan kalian, menjadi mahasiswa itu, minimal nama kalian pernah masuk di koran”, pertanyaanya, sudahkah nama kalian di muat di media massa?
Waktu itu saya hanya diam, dan membenarkan dalam hati. Selama ini belum pernah ada media massa yang mencatut nama saya, belum pernah ada yang merekan sejarah kemahasiswaan saya, saya ini mahasiswa loh bukan hanya sekedar siswa. Mahasiswa kan gelar prestisenya tinggi, coba kita telaah, selain tuhan dan mahasiswa yang memiliki gelar ‘Maha’ siapa lagi coba? Tidak ada maha dosen, atau maha menteri. Yang ada hanya mahasiswa dan Maha Esa. Hehe.
Dalam hati kemudian saya bertekad untuk menyumbangkan nama di media massa, Mas Bram (panggilan untuk Pak Bramma Aji Putra) membimbing dengan sangat telaten, setiap di akhir mata kuliah selalu memberikan tugas berupa satu artikel yang layak terbit di media massa. Mulanya berat, teringat di mata kuliah sebelumnya yang tulisan saya gagal terbit. Belajar dari kegagalan itulah, kemudian saya memperbaiki tulisan saya dari mulai penempatan diksi dan tanda baca, dan sebelum dikirim saya diskusikan dengan beberapa teman. Ternyata atas dorongan Pak Bram, kemudian saya berani mengirim lagi naskah ke meja Redaksi. Saat itu naskah yang saya kirim berjudl ‘Palu Kematian Demokrasi’, dalam artikel itu saya mengkritisi tentang demokrasi di negri ini yang ternyata memiliki sejuta kepentingan. Sudah seperti politikus yaa.. haha.
Oke, Di tunggu berhari-hari ternyata naskah saya tidak ada kabarnya, saya mulai lelah lagi. Saat saya mulai tak bersemangat dan tidak percaya diri untuk menulis, Pak Bram dengan santainya bilang “Jika tulisanmu tidak dimuat, Cuma kamu, tuhan, dan Redaksi yang tahu, kamu nggak usah malu. Tetapi jika tulisanmu terbit, Ribuan orang akan membaca karyamu, dan yang paling penting, namamu akan tercatat sebagai mahasiswa di media massa”. Saat itu saya pikir, ah, benar juga, barangkali nasib memang belum berpihak kepadaku. Dan saat itu saya putuskan untuk mencoba, dan mencoba lagi.
Dan benar saja, minggu berikutnya Dewi Fortuna ternyata sedang memihak kepadaku, tepat tanggal 14 Oktober 2014 dengan judul Merangkul Kebhinnekaan, itulah artikel pertamaku dimuat di media massa. Senang? Tentu, bukan karena honornya yaa, tetapi lebih karena saya telah berhasil merekam sejarah status mahasiswa saya. Saat itu saya sedikit berbangga karena tulisan saya bisa menjadi sarapan pagi Pak Bram dan ribuan pelajar lainnya. Setidaknya hutang kemahasiswaaanku sudah terbayar lunas-tuntas.
Di dalam artikel itu, saya mengungkapkan kegelisahan terkait perbedaan di negri Bhinneka bernama Indonesia yang kita cintai ini. Saya sangkutkan dengan isu penjegalan yang dilakukan oleh kelompok ormas yang membawa atas nama agama, ormas ini tidak suka jika Basuki Tjahaya Purnama atau yang biasa dikenal dengan Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kemudian juga saya sangkutkan dengan beberapa isu terhangat tentang kekerasan umat beragama di negeri multi agama ini. Tidak lupa juga saya kasih problem solving sebagai tawaran solusi untuk menjaga, marawat kemajemukan Indonesia. Dan ternyata itu berkenan bagi Redaktur untuk menerbitakan tulisan pertamaku.
Seperti ini wujudnya artikel pertama saya yang berhasil menembus media massa.
Merangkul “Kebhinnekaan”
Segala macam bentuk konflik yang membawa atas dasar kepentingan Suku, Agama, Ras dan Antar golongan, itulah yang biasa kita kenal dengan SARA merupakan konsekuensi logis dari format hubungan masyarakat yang tidak harmonis. Dalam hal ini bisa di katakana terjadinya intoleran antar masyarakat yang meliputi suku, agama, ras, atau golongan yang berbeda.
Menurut data resmi sensus penduduk tahun 2010 yang datanya diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa, dengan jumlah penduduk sebanyak itu menempatkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk yang sangat besar, sudah menjadi keniscayaan bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama yang beraneka ragam. Maka bisa di katakan bahwa Indonesia adalah negara yang tercipta di atas tanah kemajemukan.
Indonesia sebagai bangsa majemuk, sudah barang tentu harus menghadapi berbagai macam tantangan yang setiap saat mampu menggerogoti dan mengancam integritas bangsa. Disamping ancaman dari luar, justru ancaman yang paling berbahaya adalah manakala terjadi intoleransi di tengah masyarakat itu sendiri, karna musuh yang akan di hadapi sejatinya adalah saudara-saudara kita setanah dan air yang sama, dan itu tidak akan pernah berhenti sampai tumbuh kesadaran penuh dari masyarakat tentang pentingnya menanamkan nilai-nilai berbangsa dan bernegara dengan menggenggam erat kebhinnekaan dalam kerangka indonesia.
Beberapa pekan lalu kita sama-sama saksikan kericuhan yang di lakukan oleh ormas yang menamakan dirinya sebagai Front Pembela Islam (FPI) menentang naiknya Basuki Cahya Purnama (ahok) menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang terpilih menjadi President Republik ini. Seharusnya itu tidak perlu terjadi manakala kita sebagai warga negara mempunyai kesadaran penuh tentang hak-hak konstitusional yang sama dimata hukum negara tanpa memandang suku, etnis maupun perbedaan agama.
Salah satu bentuk kesadaran masyarakat dengan menempatkan segala bentuk perbedaan baik Suku, Agama, Ras dan Antar golongan menjadi satu kekuatan yang mampu memperkokoh kebangsaan yang sebenarnya. Perbedaan dari kelompok minoritas tidak harus selalu dikerdilkan dengan menghakimi sesuka hati, tetapi semuanya harus di rangkul menjadi satu kekayaan dalam bingkai kebhinnekaan.
Dalam hal ini peran pemerintah juga sangat menentukan, bagaimana pemerintah di tuntut untuk menciptakan suatu kebijakan yang jelas, bersifat mengikat, yang mampu menjadi daya paksa masyarakat. Sehingga antara kebijakan pemerintah dan kesadaran masyakat menjadi satu pondasi yang kokoh untuk membentengi terjadinya konflik. Pemerintah harus tegas dan jelas, dengan menutup celah yang bisa digunakan oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kekerasan berdalih penyelamatan suku maupun agama.
Semboyan Bhinneka tunggal ika sebagai motto bangsa juga tidak selayaknya menjadi penghias lambang negara belaka. Kalau kita lihat Wikipedia, Bhinneka tunggal ika mengandung makna “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua” satu rangkaian kalimat yang sangat indah. Penjabaran sederhananya, walaupun kita tercipta diatas perbedaan tetapi tetaplah mempunyai satu tujuan yang sama, satu cita-cita yang sma, dengan menciptakan satu keharmonisan hidup. Untuk mewujudkan itu, falsafah ini harus benar-benar dipegang kuat dan dipahami oleh masyarakat, dengan memanifestasikanya dalam bentuk nyata setiap hari hidup berdampingan dan menghargai perbedaan.
Diatas tanah dan air yang kita sepakati bernama Indonesia inilah harusnya kita patut bersyukur di berikan modal luarbiasa berupa keberagaman dan perbedaan dengan terbentang beraneka macam suku, agama, ras, budaya, bahasa, dan etnis yang semuanya bisa menjadi kekayaan luar biasa jika di sikapi dengan arif dan bijaksana. Semangat sekterian harus di hilangkan karena itu hanya mengandung ambisi sesaat dan berkutat di kebenaran relatif, justru yang harus di tegakan adalah semangat ke-indonesia-an dengan merangkul kebhinnekaan menjadi basis kekayaan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H