Seringkali terjadi pendistorsian makna dari ekonomi terencana. Banyak sekali orang yang menyatakan—ekonom, politisi, guru, dosen, dll—bahwa ekonomi terencana tidak bisa membaca kuantitas dari permintaan masyarakat karena manajemen produksi dan distribusi komoditas diserahkan kepada negara. Negara tidak bisa mengetahui situasi sebenarnya atas permintaan pasar secara spesifik karena banyaknya individu yang tinggal di suatu negara. Akhirnya sangat memungkinkan terjadinya kekurangan kebutuhan pokok masyarakat yang kelas bawah sehingga menjadikan maraknya pasar gelap. Artinya, dalam pengertian menurut anggapan mereka, negara menjadi pihak penawar yang tidak berbeda dengan sistem ekonomi pasar yang berdasarkan "his own interest". Intinya, menurut anggapan mereka, negaralah yang merencanakan ekonomi dalam sistem ekonomi terencana.
Dari sini terlihat bahwa mereka tidak tahu apa itu ekonomi terencana dalam sosialisme sebenarnya. Yang mereka gambarkan tidak lain adalah varian dari kapitalisme, bukan sosialisme, yakni state capitalism. Pada intinya state capitalism merupakan sistem ekonomi dimana negara berlaku sebagai perusahaan yang memegang kendali atas ekonomi untuk mengambil nilai lebih dari kerja buruh. Dalam ekonomi terencana sosialisme, tidak ada pencurian nilai lebih. Selain itu, kita juga harus tahu siapa yang mengendalikan negara dalam sosialisme. Buruhlah yang mengendalikan negara. Kontrol buruh terhadap negara dijalankan melalui lembaga demokratis buruh berupa dewan—kadang namanya bisa bervariasi seperti komite pabrik. Dewan buruh merupakan organisasi demokratis di tempat kerja yang bertugas untuk mengatur perencanaan produksi dan distribusi komoditas di suatu pabrik dan seluruh pabrik dalam cakupan nasional. Tidak hanya hanya urusan dalam bidang ekonomi, dewan buruh juga berhak dalam mengatur kebijakan politik regional dan nasional. Dewan buruh harus dipilih secara demokratis oleh buruh-buruh di tempat mereka bekerja. Para dewan ini bisa dicopot dari jabatannya setiap saat bilamana buruh-buruh di suatu pabrik merasakan bahwa kepemimpinannya sudah tidak lagi kompeten, tidak harus menunggu empat atau lima tahun sekali untuk mengganti pemimpin mereka seperti halnya sistem pemilu negara "demokratis". Tidak hanya itu, dewan buruh harus digaji lebih rendah daripada buruh terampil agar posisi jabatan tidak lagi menarik sebagaimana jabatan di negara borjuis dan manusia lebih terdorong untuk bekerja daripada mengejar jabatan birokrasi.
Terkait kekurangan kebutuhan pokok, saya akan memberikan pembelaan terkait ini. Pertama, pembentukan dewan buruh yang demokratis ini sudah menjawab mengapa tidak mungkin akan muncul kekurangan kebutuhan pokok di negara yang menganut sistem ekonomi terencana sosialis. Lagipula masyarakat konsumen terbesar pada saat ini adalah kelas pekerja, bukan segelintir orang kapitalis yang tidak bekerja. Yang tahu selera masyarakat adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Dalam ekonomi terencana sosialis, yang mengkonsumsi adalah yang memproduksi. Perencanaan produksi dipertimbangkan secara matang oleh konsumennya sendiri sesuai kebutuhan mereka, bukan oleh kapitalis yang hanya mementingkan profit. Justru dalam negara ekonomi terencana sosialis, kebutuhan pokok akan sangat terpenuhi. Jika dibandingkan dengan ekonomi pasar yang katanya permintaan dan penawaran menjadi elemen penentu secara seimbang dalam proses produksi dan distribusi, nyatanya sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh umat manusia.
Kedua, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, tenaga produktif—seperti tenaga kerja, sains, teknologi, dll.—yang maju pada saat ini sebenarnya sudah bisa menghasilkan produksi kebutuhan pokok yang cukup untuk dikonsumsi oleh seluruh umat manusia, bahkan bisa menghasilkan surplus produksi. Saya berikan contoh nyatanya pada produksi beras di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 10,61 juta hektare lahan pertanian digunakan untuk memproduksi padi pada tahun 2021. Lalu, menurut Kementerian Pertanian, pada tahun 2021, lahan pertanian per hektare dapat menghasilkan 54,42 ton beras per tahun. Jika di kalkulasikan, maka pada tahun 2021, Indonesia dapat menghasilkan produksi padi sebesar 566,51 juta ton per tahun! Padahal, menurut BPS, konsumsi beras seluruh masyarakat Indonesia pada tahun 2021 hanya sebesar 30,03 juta ton. Ini adalah angka yang fantastik karena seharusnya pada tahun 2021, surplus produksi beras bisa sampai angka 536,48 ton atau sekitar 17 kali lipat lebih besar dari yang dikonsumsi.
Tapi saya tekankan bahwa yang saya berikan hanyalah angka kasar, bisa jadi lebih kecil daripada itu. Menimbang berbagai kerusakan komoditas padi yang terjadi pada proses produksi dan distribusi. Namun proyeksi surplus yang berkali lipat tentunya pastinya masih ada. Dibalik perkiraan surplus produksi itu, BPS menyatakan, produksi beras pada tahun 2021 hanya mencapai 54,42 juta ton GKG. Meski nampaknya terlihat terjadi surplus produksi, nyatanya indeks kelaparan di Indonesia pada tahun 2022 masih berada pada level 17,9 menurut Global Hunger Index (GHI). Disini, indeks kelaparan Indonesia bahkan berada dibawah Myanmar (15,6) yang tengah berada dalam konflik. Diatas lagi masih ada Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Belum lagi bicara soal permasalahan kekurangan gizi pada masyarakat Indonesia.
Dengan proyeksi surplus produksi beras yang melimpah, tidak ada alasan lagi untuk mengatakan bahwa Indonesia kekurangan lahan pertanian dan tenaga produktif untuknya. Namun faktanya berkata lain. Mengapa hal demikian dapat terjadi? Ini karena Indonesia masih menerapkan hukum pasar. Kapitalis pertanian tidak ingin profitnya terancam dengan menurunnya harga pasaran beras. Maka dari itu, mereka mengusahakan dengan berbagai cara agar tidak terjadi kelimpahan pangan nasional dengan membatasi produksi yang akan merusak stabilitas harga pangan nasional dan membuat berbagai regulasi untuk membatasi produksi dan distribusi-nya. Mereka tak peduli terhadap indeks kelaparan yang memprihatinkan dan ancaman kekurangan gizi pada masyarakat Indonesia.
Lalu mungkin ada yang menganggap bahwa ekonomi terencana akan mematikan persaingan. Mereka menganggap bahwa persaingan akan mendorong inovasi sehingga mendorong terbentuknya kemajuan suatu bangsa. Jika suatu negara menerapkan ekonomi terencana, maka tidak akan ada inovasi sehingga kemajuan akan stag. Mungkin ada yang menyarankan dari laissez-faire diluar ekonomi terencana dengan metode Keynesian. Negara akan masuk ke pasar untuk mengatasi atau mencegah krisis terjadi.
Terkait persaingan (bebas), ini adalah hal yang konyol dan tidak masuk akal pada saat ini. Persaingan bebas adalah omong kosong bila diungkapkan pada hari ini. Sebagaimana kata Lenin dalam buku "Imperialism, the Highest Stage of Capitalism":
“Private property based on the labour of the small proprietor, free competition, democracy, i.e., all the catchwords with which the capitalists and their press deceive the workers and the peasants- are things of the past. Capitalism has grown into a world system of colonial oppression and of the financial strangulation of the overwhelming majority of the people of the world by a handful of "advanced" countries. And this "booty" is shared between two or three powerful world marauders armed to the teeth"..."who involve the whole world in their war over the sharing of their booty.”
Memang, pada awalnya, fitur utama kapitalisme adalah perdagangan bebas yang pastinya tidak terlepas dari persaingan bebas—tentunya persaingan yang bebas untuk para embrio kapitalis. Namun, yang namanya persaingan, pasti akan menghasilkan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Sejak awal kelahiran kapitalisme, pengusaha-pengusaha ini berusaha bertempur satu sama lain di pasar untuk saling mendominasi. Seiring berjalannya waktu, eliminasi ini terjadi. Ada pengusaha yang untung dan ada pula yang rugi. Pihak yang untung akan mendominasi pasar menjadi milik mereka sebagai satu-satunya pihak penawar. Disisi lain, pihak yang kalah akan kehilangan statusnya sebagai pihak penawar di pasar. Akhirnya pihak yang kalah akan menjadi pedagang yang lebih kecil lagi statusnya dibanding dulu, atau melebur dengan kelas buruh, atau bahkan menjadi lumpen-proletariat.
Mengenai solusi Keynesian, itu adalah hal yang tidak solutif. Kapitalisme mengandung banyak kontradiksi, yang niscaya akan menghasilkan krisis. Intervensi negara terhadap ekonomi tidak akan berpengaruh signifikan dalam membendung krisis akibat kapitalisme. Kita contohkan pada peristiwa krisis 2008. Pada saat itu, ekonomi dunia mengalami resesi global yang hebat. Kredit macet terjadi di AS akibat banyak masyarakat AS yang membeli properti dengan menggunakan kredit bank yang longgar. Harga properti menurun sedangkan suku bunga KPR meningkat, hal ini membuat masyarakat yang mengambil kredit hipotek subprima mulai tidak mampu melunasi pinjaman dan akhirnya menyatakan gagal bayar. Akhirnya krisis ini merambat pada pasar saham. Solusi yang ditawarkan pemerintah AS adalah menurunkan suku bunga bank sentral yang hampir menyentuh angka 0%. Namun pemerintah AS malah membantu institusi keuangan yang seharusnya dibiarkan untuk bangkrut. Akhirnya, bukannya menyediakan hasil yang lebih baik, justru solusi-solusi ini akan memperparah krisis kedepannya lagi. Ibarat memperbaiki rumah kayu yang sudah lapuk dengan cara menembelnya, alih-alih menggantikannya dengan bangunan baru.