Mohon tunggu...
Achmad Thoriq
Achmad Thoriq Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Homosapien Bertipe Malayan Mongoloid

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjalanan Haji pada Masa Kolonial Belanda

19 Juli 2022   11:40 Diperbarui: 19 Juli 2022   11:47 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perjalaan Haji, sudah lama dijalani oleh masyarakat beragama muslim tak terkecuali masyarakat muslim yang ada di Indonesia. Keterpanggilan masyarakat muslim untuk melakukan Haji, selain untuk motivassi keagamaan, juga karena pada waktu itu, sedang maraknya pelayaran yang ada. Sebagaimana dicatat, bahwa teknologi pelayaran pada masa itu kerajaan kerajaan maritim bisa dibilang cukup  pesat. Kedatangan pedagang pegang muslim pada saat itu, tidak hanya memikat untuk pribumi untuk masuk agama Islam saja, tetapi juga meningkatnya keinginan mereka (para pribumi) untuk bisa pergi haji.

Bahkan ada suatu anggapan didalam masyarakat, bahwa seseorang yang sudah melakukan atau pergi haji, seseorang muslim tersebut dianggap oleh masyarakat sebagai seseorang yang alim dan juga baik. Dengan kata lain, dengan kita pergi haji dapat meningkatkan strata kehidupan kita menjadi lebih baik.

Sebelum dikenalnya teknologi uap dan motor yang kemudian memungkinkan untuk melakukan perjalanan haji dengan mengendarai Pesawat terbang. Para jamaah memanfaatkan kapal layar yang sejatinya kapal tersebut ialah kapal dagang, yang digunakan untuk melakuakan perjalanan haji. Dengan hanya mengandalkan kekuatan tupan angin laut, maka perjalanan dari Nusantara hingga pelabuhan Aden membutuhkan waktu tak kurang dari lima bulan. [1]

 

Fasilitas yang didapatkan dari kapal laut tersebut, sangat jauh dari kata nyaman. Penumpang berdesak desakkan dalam dek dan lorong kapal beserta dengan baraang bawaan dari jamaah. Dengan pembagian tempat yang tergolong terbatas tersebut, tempat sholat yang longgar pun tidak memungkinkan. Bahkan untuk keperluan hajat besat dan kecilpun dilakukan ditempat mereka duduk. Ditambah lagi untuk keperluan makanan harus di urus sendiri oleh penumpang, dan beragam kekurangan lainnya.[2]

 

Kondisi yang menyedihkan tersebut diperparah dengan adanya sikap dari oknum nahkoda dan awak kapal yang kadangkala bertindak licil ataupun jahat pada para jamaah. Ada sebuah laporan yang menyebutkan bagaimana nahkoda yang jahat sampai membuang barang milik jamaah ke laut, bahkan hingga timbul perkelahian antara jamaah dengan awak kapal. Tak hanya itu, ada pula kesulitan kesulitan alam yang datang sepanjang perjalanan[3]. Dalam sebuah laporan kolonial pada tahun 1893, ada badai besar yang menyerang sebuah kapal haji yang tidak memenuhi persaratan untuk melakukan perjalanan pulang dari Tanah Suci menuju Nusantara, yang mengakibatkan seratusan jamaah meninggal dunia dan puluhan peti pembekalan hanyut. 

 

Tantangan alam berupa penyakit juga menjadi tantangan bagi para jamaah haji waktu itu. Penyebaran wabah penyakit dimungkinkan terjadi karena terpusatnya kumpulan ribuan manusia dari aneka latar belakang dalam satu tempat, sehingga jika terdapat satu saja orang yang terkonfirmasi virus menular, maka penularannya akan semakin cepat menyebar. Sebagai contoh ketika wabah kolera, yang terjadi tiga belas kali dari kurun waktu tahun 1860-1902, [4]Pes ditahun 1898, dan cacardi tahun 1927.

 

Aneka ragam kesulitan tersebt nyatanya tidak dapat mengurangi minat masyarakat untuk menjalankan ibadah haji. Hal ini terbuktidengan adanya tren jumlah jamaah haji yang meskipun fluktuatif ( gejala turun naik ) namun relatif stabil setisp tahunnya, bahkan cenderung meningkat.

 

Motivasi para jamaah haji yang berangkat ke Tnah Suci pun beragam, namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hurgrojne, didapati beberapa alasan yang mendorong parajamaah, yang diantaranya:[5]

 

  • Menjalankan perintah agama

Alasan yang normatif ini merupakan alasan yang utama dan yang paling bisa untuk di terima.

  • Keinginan untuk memperluas ilmu agama

Di antara jamaah yang berangkat untuk berhaji, memang tidak sedikit yang bertujuan untuk mencari ilmu agama di Tanah Suci.

  • Status sosial

Seperti yang sudah dijelasskan diatas, dikalangan masyarakat yang sudah pernah menunaikan ibadah haji, maka akan mendapatkan gelar Haji di depan namanya. Salain itu, orang tersebut juga akan mendapatkan apreasi tinggi atau dihormati di masyarakat. Oleh karena itu, tidak sedikit pula jamaah yang bertujuan unntuk motif ini.

  • Kekecewaan/kejenuhan pada kehidupan di tanah air (yang notabene masih terjajah) dan ingin menetap di Tanah Suci

Alasan ini merupakan alasan yang tergolong bisa diterima, mengingat pada masa itu adalah masa kolonial Belanda, yang dimana segala urusan yang terkait dengan pemerintah Belanda cenderung menyusahkan masyarakat pribumi. Oleh karena itu, diantara jamaah ada yang ingin menjadikan perjalanan haji sebagai pelarian dari kondisi di tanah air dan ingin tingggal; di Mekah hingga akhir hayatnya.

 

Diantara empat alasan utama tadi, alasan kedua dan yang nomor empat bisa menjadi jawaban atas fakta yang kemudian dikemukakan oleh Hurgronje, bahwa dalam lembaran negara tahun 1859 no 42, bahwa pada tahun 1859 saja ada 12.985 yang berangkat selama empat tahun (1852-1856), hanya ada 5.594 orang yang sudah pulang[6]. Sisanya ada yang masih bertahan tinggal di Tanah Suci ataupun masih dalam perjalanan pulang. Pernyataan lain juga datang dari pejabat Bupati Pasuruhan yang menyatakan sebagian besar jamaah haji tidak kembali ketanah air, dalam nota tanggal 13 Juli 1897 nomor 332/2 Rahasia, serta nota 4 September 1897 nomor 419/2 Rahasia yang menyatakan bahwa, perbandingan jumlah orang yang berangkat dan pulang haji yang berbeda drastis. Dari fakta ini, bisa didapati kesimpulan bahwa rombongan yang kembali ketanah air jauh lebih sedikit ketika rombongan tersebut berangkat.

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan

Arsip Nasional RI. TGs tanggal November 1896 No. 353 Geh.

Arsip Nasional RI. Mgs. 4-11-1893 no. 2811, G.B. Agenda 2280/1895

Rohmatulloh, Dawam Multazamy. 2017. Perjalanan Haji Indonesia di Masa Kolonial. Ponorogo: INSURI

E. Gobee dan C. Adriaanse. 1993. Nasihat Nasihat Hurgronje semasa Kepegawainnya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1993 Seri VIII . Jakarta: INIS

Hurgronje , C. Snouck. 1994. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX . Jakarta: INIS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun