"Ah, Aku tak ada waktu mendengar kata anumu itu."
Bu Mahjubin melewatiku. Aku spontan memegang lengan Bu Mahjubin, susah payah menariknya tubuh besarnya mundur.
"Hei Apppp..." Untuk kedua kalinya aku berlaku kurang ajar kepada guru yang satu ini, aku menyumbal mulutnya dengan tanganku, lalu melepasnya setelah ia sepakat.
"Ibu mau kemana?" Aku berbisik kepada Bu Mahjubin yang sekarang juga menjadi pengintai bersamaku.
"Aku hanya mau beli es di warung. Panas sekali, aku lelah dan dehidrasi juga." Ah, guru ini ternyata memang tak punya niat apapun di kepalanya selain memenuhi kebutuhan badannya. Sejauh itukah jarak gedung sebelah dengan warung ini?
Lalu tanpa menunggu kesepakatan dariku, Bu Mahjubin mendadak seperti seorang buser,bergerak lincah lalu menodongkan pistolnya ke arah tiga pencuri. Bu Mahjubin menangkap tiga pencuri warung sekolah.
Mereka bertiga lalu digelandang ke ruangan kepala sekolah. Sepanjang koridor dan lorong sekolah, anak-anak yang lain menatap sedih. Beberapa anak yang berkulit putih berkaca mata malah tertawa. Tapi beberapa anak menatap mereka dengan rasa kasihan. Hanya kasihan, lalu mereka melanjutkan melahap bekal nasi goreng dan roti isi, yang membuat Cindy menelan ludah sambil mengecap-ngecap mulutnya.
Ito meronta, menarik-narik tangan pak satpam yang menyeretnya. Akhirnya Ia kalah tenaga dengan satpam yang sudah menggendongnya. Cindy yang sebelumnya berjalan santai dituntun Bu Mahjubin merengek minta digendong seperti abangnya. Tampaknya Cindy belum paham betul makna peristiwa siang ini.
"Kalian sudah tidak sabar menunggu?" Pak Tua menyambut empat bandit kecil yang terpaksa digendong karena berusaha melawan. Kecuali Cindy yang senyum-senyum saat digendong.
"Bukankah sudah ku bilang. Kalian sabar. Jangan ikuti abang kalian itu" Pak Tua menunjuk Asyim yang lebih dulu tiba.
Pak Tua lalu mengambil Cindy yang masih asyik digendong Bu Mahjubin. Kali ini ruang persidangan siap dengan kasus barunya. Di mana Pak hakim tadi?