"Apa yang dikatakannya barusan?"
"Anu. Saya tidak mengerti, Pak."
"Kau yang berdiri paling dekat dengannya bukan? Bagaimana bisa kau tidak mendengar perkataan Pak Tua itu? Punya telinga tidak?" Ingin rasanya gagang sapu ini kulayangkan ke arah mukanya itu. Sungguh menjengkelkan mendengar kata-kata bernada seperti itu.
"Perutnya pasti sakit sekarang." Kalimat kedua dari Pak Tua semakin membuat orang-orang dalam ruangan itu kebingungan. Kebingungan karena Pak Tua tak juga berhenti menangis, kebingungan karena ucapan-ucapannya yang sulit dipahami.
"Perut siapa yang sakit, Pak?" Aku mencoba mendekatinya sambil duduk di sebelahnya. Aku mencoba menjadi satu-satunya manusia yang sadar dalam ruangan ini.
"Mereka pasti terlalu lama menunggu."
Aku semakin tidak mengerti.
"Mereka belum makan mulai kemarin. Pada jam istirahat inilah mereka akan menungguku memberi terang bulan. Jika terlalu lama di sini, aku khawatir."
Belum selesai aku menelan kata-kata Pak Tua. Seluruh ruangan dikejutkan dengan suara gaduh dari luar.
"Sini kau anak bajingan. Beraninya kau mencuri di warungku. Memangnya kau tak diberi uang jajan?"
Semua orang dalam ruangan sontak menuju arah keributan. Tampak Bu Mahjubin masih berjalan menuju warung. Astaga, lamban sekali dia. Syukurlah tubuhku masih gesit melewati puluhan murid yang berbondong-bondong juga menuju arah keributan.