"Tapi bukan berarti anak itu sakit karena makan makanan kami, Pak." Bu Marsum membela diri. Ia berdiri mendongakkan kepala menantang kepala sekolah.
"Tapi semua bukti mengarah kepada kalian."
"Tak ada bukti seperti itu. Mana buktinya? Coba tunjukkan!"
Sifa yang tadinya sangat antusias masuk ke ruangan ini sekarang berdiri kikuk di belakangku. Bukankah tadi ia bersemangat?
"Hei kau. Bersaksilah di sini. Jangan berdiri saja." Lagi-lagi kepala sekolah meneriakiku, mengagetkanku.
"Anu, Pak. Saya kemarin memang melihat Toni pulang sambil membawa terang bulan dan es lilin. Ya. Saya ingat betul sebelum Toni masuk mobil tangannya memegang makanan itu."
"Nah. Sudah jelas bukan? Siapa lagi yang menjual makanan seperti itu di sekolah ini selain kalian berdua?"
Setelah selesai bersaksi, aku tak lagi tertarik dengan perdebatan di depanku. Bu Marsum membela diri habis-habisan seperti mahasiswa di sidang skripsi. Tidak seperti Bu Marsum, Pak Tua itu tampak tenang-tenang saja. Kulihat dari tadi ia tak membela diri atau menunjukkan wajah protesnya. Ia hanya menunduk. Aku tak lagi menyimak perdebatan seru tentang gizi makanan di depanku. Aku melepaskan tangan Sifa dari kemejaku untuk menengok keluar jendela. Satu. Dua. Tiga. Hanya empat anak yang tersisa menunggu Pak Tua kembali ke sepedanya.
"Saya dengar dagangannya selalu tidak laku. Anak-anak hanya menyukai dongeng-dongengnya. Bagaimana bisa laku jualan? Makanan kotor begitu. Ya jelas Pak Kepala marah besar. Saya setuju dengan keputusan kepala sekolah baru. Sangat disiplin dan tegas."
"Ibu menyukainya?"
"Tentu saja. Siapapun pasti menyukai kepala sekolah yang baru."