Suatu malam datang cahaya bintang
Menawar sepasang kursi rotan kalimantan
membangunkan kesombongan berlabel perbaikan peradaban
Oh, sepi berdecak tak melepas genggaman, sebab ia tahu
Bangsa ini akan terkubur pelan di penggadaian
Lain waktu meja makan wali kota, gubernur, dan raja istana dipenuhi
Batu bara, emas, timah, dan segenap buah pertanian dari sisi negeri
Semua berjalan pelan menuruni perut tiap lekukan
Riuh mendehem tak menunaikan peribadatan, sebab ia tahuÂ
Masa depan bakal digantung di catatan utang Â
Sementara, menteri berkalung sekian bintang menimbang-nimbang
Senyum mengembang menilap segenap nurani
Mesin hitung berbau menyan dilemparkannya ke awang
Dimintanya malaikat menghitungkan berapa tumpuk bakal menghuni
Gudang penyimpanan ala kumpeni musti didirikan
Ini pagar kian rapuh oleh ulah angin bermata setan
Lidah berlapis emas, kedip bermuara kudapan
Ada apa di sebalik suara pemilu lalu
Anak cucu menangis tanpa jerit rintihan
Air mata sendirian menderai ingatan
Jangan lagi kaujual masa depan
Rengek jelata di persimpangan sorot mata
Suara itu tak beribu tak berhulu
Hanya meledakkan telinga tak meruntuhkan tamak-loba
Monumen mati bagi penghuni mimpi sebelum tiba pagi
Boyolali, 16 Mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H