Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mutiara di Balik Abu Vulkanik Gunung Sinabung

27 Februari 2018   08:06 Diperbarui: 27 Februari 2018   09:03 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mobil Avanza plat BK merapat pelan ke sebuah gang kecil di Desa Ndeskati Kecamatan Nama Teran Kabupaten Karo. Di ujung Gang papan bertuliskan Masjid Muslimun yang menggantung di sebuah gerbang masjid di desa yang berada di kaki Gunung Sinabung ini. Di dekat gerbang masjid, puluhan anak-anak usia sekolah dasar sudah berjajar dengan pakaian muslim dan muslimah. Mereka seperti menunggu kedatangan tamu yang sudah lama diharapkan kedatangannya.

Jusriani yang akrab dipanggil Juju turun dari mobil, diikuti oleh Irda dan Dela. Anak-anak yang menunggu dekat gerbang masjid langsung berubah ceria wajahnya. Mereka sudah mengenal siapa yang datang ke kampung mereka. Ya, Juju dan Irda, dua mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) yang bergabung dengan RELAWAN INDONESIA untuk Kemanusiaan (RELINDO) sudah beberapa kali datang ke desa ini. Anak-anak seperti menemukan obat kerinduan mereka setelah lama tidak berjumpa Juju dan Irda. Adapun Dela, mahasiswa USU baru pertama datang ke desa ini. Ia sangat senang bisa sampai juga di desa yang begitu dekat dapat melihat kedahsyatan Gunung Sinabung dengan asap, bau belerang dan alur besar yang membelah banyak bagian tubuh gunung yang tak henti mengalami erupsi dari tahun 2010 hingga sekarang.

Saya, Dedi dan Bu popie kemudian turun dari mobil. Dedi adalah salah satu pengurus provinsi RELINDO Sumatera Utara yang sudah sejak awal Gunung Sinabung meletus sudah aktif turun melakukan aksi kemanusiaan. Sementara Bu Popie adalah salah satu relawan terapi psikologis yang saya ajak untuk memperkenalkan terap SEFT. Terapi SEFT adalah salah satu teknik terapi untuk mengurangi beban psikis yang berdampak pada penyakit fisik pada seseorang.

"Tadi pagi gunungnya meletus, Pak."

Pak Lukman memulai pembicaraan. Pak Lukman adalah Ketua Badan Kenaziran Masjid Muslimun Desa Ndeskati. Tidak hanya Pak Lukman yang mengatakan bahwa pagi ini (25/2/2018) Gunung Sinabung meletus, tapi warga lain mengatakan hal yang sama. Beliau dan warga Ndeskati juga bercerita bagaimana mencekamnya warga saat Gunung Sinabung meletus sangat dahsyat pada Senin lalu (19/2/2018). Abu sebenarnya sudah mengarah ke desa mereka. Tapi tiba-tiba angina bertiup ke arah lain, sehingga abu tidak sampai jatuh di desa Ndeskati.

Pelatihan SEFT Terapi bagi warga terdampak erupsi Gunung Sinabung oleh Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan (dok. pribadi 25/2/2018)
Pelatihan SEFT Terapi bagi warga terdampak erupsi Gunung Sinabung oleh Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan (dok. pribadi 25/2/2018)
Cerita suasana mencekam saat pertama kali Gunung Sinabung meletus juga disampaikan beberapa warga saat kami melaksanakan program pendampingan hari itu. Anak-anak juga bercerita bagaimana mereka merasa sangat takut. Salah satu bukti dampak erupsi Gunung Sinabung yang merusak desa ini adalah banyaknya atap rumah yang rusak setelah tertimpa abu vulkanik. Beberapa warga sampai tidak lagi mampu memperbaiki atap rumahnya yang rusak. Salah satunya adalah Nenek Sertaulina Br Ginting yang berulangkali atap rumahnya rusak. Akhirnya Nenek Sertaulina ini hanya sanggup mengganti atap seng dengan terpal pemberian warga, karena tidak mampu memperbaiki rumahnya.

Ada 12 orang dari kalangan ibu-ibu hadir untuk mendapatkan pelatihan terapi SEFT. Mereka diajari oleh Bu Popie agar bisa mempraktekkan sendiri teknik terapi SEFT secara mandiri setiap hari.

"Saya ridho, saya pasrah, saya ikhlas...."

Nenek Sertaulina 72 tahun dan ibu-ibu lain sangat semangat mengucapkan kata-kata mengandung efek terapi ini sambal mengetuk titik-titik tertentu di bagian badan sesuai arahan Bu Popie.

Ibu-ibu peserta Pelatihan SEFT Terapi bagi warga terdampak erupsi Gunung Sinabung bersama relawan dari Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan (dok. pribadi 25/2/2018)
Ibu-ibu peserta Pelatihan SEFT Terapi bagi warga terdampak erupsi Gunung Sinabung bersama relawan dari Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan (dok. pribadi 25/2/2018)
Di halaman masjid, nampak Dela, Juju dan Irda tenggelam dalam keceriaan bersama puluhan anak-anak Desa Ndesakti. Mereka memandu permainan dalam kegiatan outbound. Beberapa permainan berupa memindahkan bola dengan sedotan dan memindahkan karet gelang secara tim membuat anak-anak sangat bersemangat. Apalagi usai permainan, anak-anak mendapat hadiah makanan, suasana riang gembira  memecahkan suasana desa yang sejuk ini.

utbound buati anak-anak terdampak erupsi Gunung Sinabung oleh Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan (dok. pribadi 25/2/2018)
utbound buati anak-anak terdampak erupsi Gunung Sinabung oleh Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan (dok. pribadi 25/2/2018)
Tak jauh dari Masjid Muslimun, nampak berdiri gagah, Sang Gunung Sinabung disisi Barat Daya dari Desa Ndeskati. Awan menyelimuti puncak Gunung Sinabung. Gunung Sinabung masih menyimpan misterinya yang panjang.

"Kapan akan berhenti meletus, wahai Gunung Sinabung."

Itulah kira-kira pertanyaan yang terus menggelayut di benak seluruh warga yang hidup di kaki gunung Sinabung.

Beberapa anak-anak Desa Ndeskati yang mengikuti outbound bersama para relawan (dok. pribadi 25/2/2018)
Beberapa anak-anak Desa Ndeskati yang mengikuti outbound bersama para relawan (dok. pribadi 25/2/2018)
Azan Ashar berkumandang. Saatnya shalat Ashar kami tunaikan. Usai shalat beberapa ibu-ibu kembali ke Masjid Muslimun. Mereka bukan untuk belajar teknik terapi lagi. Kali ini mereka datang dengan membawa sayur-sayuran dan buah-buahan. Mereka memberikan "buah tangan" buat kami, para relawan. Kali ini buah tangan kami adalah buah beneran. Jeruk Karo yang demikian lezat rasanya dan beberapa kantong kentang, buncis, labu dan sayuran lain dalam waktu sekejam bertumpuk di depan kami.

Saya sangat terharu melihat fenomena ini. Dalam keprihatian dan kondisi yang mencekam tiap saat, warga Desa Ndeskati menunjukkan kemilau bak mutiara. Mereka sangat menghormati dan begitu berterima kasih pada orang yang dianggap membantu mereka. Itulah mutiara indah yang kami temuka diantara bayang-bayang mengerikan letusan Gunung Sinabung. Abu vulkanik yang kerap menyelimuti Desa ini, tak dapat menutupi terangnya rasa terima kasih yang indah dari warganya. Saya juga merasakan bagaimana Ibu-ibu ini tetap gembira meski banyak beban hidup dan kecemasan yang menghimpitnya.

Sebelum kami pulang, kami mampir ke rumah Nenek Sertaulina Br Ginting. Orang kampung menyebutnya Iting Gaul. Istilah ini karena nenek ini selalu ceria dan tertawa. Suaranya lantang dan rona mukanya mewakili wajah yang penh semangat.

"Sehari, Nenek ini tertawa 70 kali." Celetuk seorang ibu Desa Ndeskati saat saya menanyakan kenapa nenek ini masih nampak sehat.

Rumah Nenek Sertaulina tampak dari depan (dok. pribadi 25/2/2018)
Rumah Nenek Sertaulina tampak dari depan (dok. pribadi 25/2/2018)
Beliau hidup sebatangkara. Rumah beliau beratap terpal dengan langit-langit jebol sana-sini. Saat hujan, air masauk di berbagai sisi. Belum lagi dinding rumah yang terbuat dari kayu terlihat sudah rapuh. Dulunya atap rumah nenek ini terbuat dari seng, tapi karena efek debu vulkanik yang berakibat hujan asam membuat atap seng cepat rusak. Toilet pun tak kami temukan di rumah ini.

Hidup sendirian ditinggal suami yang telah wafat 10 tahun lalu dan lima anak beliau yang merantau sungguh terasa berat buat nenek usia 72 tahun ini. Saya mengambil dokumentasi secukupnya dengan niat ingin membantu merehab rumah nenek tangguh ini. Semoga saya bisa menuntaskan niat membantu nenek Sertaulina ini.

Beberapa bagian rumah Nenek Sertaulina yang rusak (dok. pribadi 25/2/2018)
Beberapa bagian rumah Nenek Sertaulina yang rusak (dok. pribadi 25/2/2018)
Perjalanan singkat berinteraksi dengan waga terdampak bencana erupsi Gunung Sinabung ternyata meninggalkan beragam kesan. Selain itu, kehadiran kami di Ndeskati meninggalkan beberapa pekerjaan rumah kami untuk memberikan seseuatu yang lain selain pelatihan SEFT dan outbound seperti hari ini.

Kesabaran, kemurahan tangan, ketangguhan dan rasa berserah diri pada Tuhan, itulah yang saya pelajari dari Desa Ndeskati. Desa yang setiap saat dengan sangat jelas melihat aktivitas Gunung yang tak jua berhenti menghias bumi dan langit dengan semburan material vulkanik.

Kami pun meninggalkan Desa Ndeskati dengan perasaan antara senang dan rindu ingin kembali. Malamnya kami mendengar bahwa Gunung Sinabung kembali Erupsi dengan melontarkan abu vulkanik setinggi 3.800. Subhanallah, semua terjadi atas kekuasaan Allah. Semoga warga Ndeskati dalam lindunga-Nya.

Semoga Allah memberi kesabran, kekuatan dan keikhlasan buat warga terdampak erupsi Gunung Sinabung. Bagi kami yang tidak mengalami masa-masa hidup yang mencekam, semoga kami bisa lebih bersyukur dan bisa selalu bersemangat mengulurkan tangan membantu sesame.

Salam Kemanusiaan!

Achmad Siddik Thoha

RELAWAN INDONESIA untuk Kemanusiaan

Provinsi Sumatera Utara

HP. 0812-85307940

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun