Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mutiara di Balik Abu Vulkanik Gunung Sinabung

27 Februari 2018   08:06 Diperbarui: 27 Februari 2018   09:03 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah kira-kira pertanyaan yang terus menggelayut di benak seluruh warga yang hidup di kaki gunung Sinabung.

Beberapa anak-anak Desa Ndeskati yang mengikuti outbound bersama para relawan (dok. pribadi 25/2/2018)
Beberapa anak-anak Desa Ndeskati yang mengikuti outbound bersama para relawan (dok. pribadi 25/2/2018)
Azan Ashar berkumandang. Saatnya shalat Ashar kami tunaikan. Usai shalat beberapa ibu-ibu kembali ke Masjid Muslimun. Mereka bukan untuk belajar teknik terapi lagi. Kali ini mereka datang dengan membawa sayur-sayuran dan buah-buahan. Mereka memberikan "buah tangan" buat kami, para relawan. Kali ini buah tangan kami adalah buah beneran. Jeruk Karo yang demikian lezat rasanya dan beberapa kantong kentang, buncis, labu dan sayuran lain dalam waktu sekejam bertumpuk di depan kami.

Saya sangat terharu melihat fenomena ini. Dalam keprihatian dan kondisi yang mencekam tiap saat, warga Desa Ndeskati menunjukkan kemilau bak mutiara. Mereka sangat menghormati dan begitu berterima kasih pada orang yang dianggap membantu mereka. Itulah mutiara indah yang kami temuka diantara bayang-bayang mengerikan letusan Gunung Sinabung. Abu vulkanik yang kerap menyelimuti Desa ini, tak dapat menutupi terangnya rasa terima kasih yang indah dari warganya. Saya juga merasakan bagaimana Ibu-ibu ini tetap gembira meski banyak beban hidup dan kecemasan yang menghimpitnya.

Sebelum kami pulang, kami mampir ke rumah Nenek Sertaulina Br Ginting. Orang kampung menyebutnya Iting Gaul. Istilah ini karena nenek ini selalu ceria dan tertawa. Suaranya lantang dan rona mukanya mewakili wajah yang penh semangat.

"Sehari, Nenek ini tertawa 70 kali." Celetuk seorang ibu Desa Ndeskati saat saya menanyakan kenapa nenek ini masih nampak sehat.

Rumah Nenek Sertaulina tampak dari depan (dok. pribadi 25/2/2018)
Rumah Nenek Sertaulina tampak dari depan (dok. pribadi 25/2/2018)
Beliau hidup sebatangkara. Rumah beliau beratap terpal dengan langit-langit jebol sana-sini. Saat hujan, air masauk di berbagai sisi. Belum lagi dinding rumah yang terbuat dari kayu terlihat sudah rapuh. Dulunya atap rumah nenek ini terbuat dari seng, tapi karena efek debu vulkanik yang berakibat hujan asam membuat atap seng cepat rusak. Toilet pun tak kami temukan di rumah ini.

Hidup sendirian ditinggal suami yang telah wafat 10 tahun lalu dan lima anak beliau yang merantau sungguh terasa berat buat nenek usia 72 tahun ini. Saya mengambil dokumentasi secukupnya dengan niat ingin membantu merehab rumah nenek tangguh ini. Semoga saya bisa menuntaskan niat membantu nenek Sertaulina ini.

Beberapa bagian rumah Nenek Sertaulina yang rusak (dok. pribadi 25/2/2018)
Beberapa bagian rumah Nenek Sertaulina yang rusak (dok. pribadi 25/2/2018)
Perjalanan singkat berinteraksi dengan waga terdampak bencana erupsi Gunung Sinabung ternyata meninggalkan beragam kesan. Selain itu, kehadiran kami di Ndeskati meninggalkan beberapa pekerjaan rumah kami untuk memberikan seseuatu yang lain selain pelatihan SEFT dan outbound seperti hari ini.

Kesabaran, kemurahan tangan, ketangguhan dan rasa berserah diri pada Tuhan, itulah yang saya pelajari dari Desa Ndeskati. Desa yang setiap saat dengan sangat jelas melihat aktivitas Gunung yang tak jua berhenti menghias bumi dan langit dengan semburan material vulkanik.

Kami pun meninggalkan Desa Ndeskati dengan perasaan antara senang dan rindu ingin kembali. Malamnya kami mendengar bahwa Gunung Sinabung kembali Erupsi dengan melontarkan abu vulkanik setinggi 3.800. Subhanallah, semua terjadi atas kekuasaan Allah. Semoga warga Ndeskati dalam lindunga-Nya.

Semoga Allah memberi kesabran, kekuatan dan keikhlasan buat warga terdampak erupsi Gunung Sinabung. Bagi kami yang tidak mengalami masa-masa hidup yang mencekam, semoga kami bisa lebih bersyukur dan bisa selalu bersemangat mengulurkan tangan membantu sesame.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun