“Ibu punya keluarga?”
“Ya, Pak.”
“Anak berapa, Bu?
“Empat, Pak. Perempuan semua.”
“Yang paling besar umur berapa?”
“Enam belas tahun.”
“SMA ya Bu?”
“Ya, Pak.”
“Mengapa Ibu melakukan perbuatan ini (penipuan)?”
***
Perempuan berusia 40-an tahun ini mengakui perbuatannya bahwa selama ini dia membohongi korban untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya sekolah. Dia mengaku suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya sehingga akhirnya dia bergerilya dari rumahnya ke di Depok ke Bogor. Sudah 20-an orang korban yang ditipu dengan modus meminjam uang untuk biaya sekolah anak, kebutuhan mendesak keluarga, kehabisan bekal di jalan, dll. Semua korbannya adalah perempuan.
Perempuan yang sudah melakukan aksi membohongi korban dengan memberi jaminan cincin. Cincin itu saya tahu hanya berharga 30 ribuan. Dengan modal “jaminan” murah itu, perempuan itu bisa membuat korban merasa kasihan dan menyodorkan uang hingga 900 an ribu untuk dipinjamnya. Hingga hampir 3 bulan perempuan ini bergerilya dari satu korban ke korban lainnya. Bahkan ada korban yang berhasil dibohongi sampai 2 kali.
Malam itu, saya mendadak mendapat telepon dari seorang teman yang pernah menguntit aksi perempuan ini. Teman mengabarkan bahwa perempuan yang “menipu” itu sudah tertangkap oleh mahasiswa IPB di dekat Kampus Dramaga Bogor. Saya diminta untuk mengurus lebih lanjut. Kabarnya para mahasiswa itu akan membawanya ke polisi.
Saya saat itu sedang dalam perjalanan pulang. Berpikir sejenak, apakah harus ke polisi? Apakah membawa seseorang ke polisi bisa membuat masalah selesai? Haruskah memberi efek jera harus melalui hukum formal dan ditangani aparat hukum? Kalau Ibu ini punya keluarga bagaimana nasib keluarganya?
Semua pikiran itu berkecamuk sebelum saya “menginterogasi” perempuan itu. Saya menyerap dulu info awal dari para mahasiswa yang meminta saya membantu menindaklanuti penangkapan perempuan yang dicap penipu oleh para korbannya. Maaf, saya rasanya tidak sanggup mcukup berat menvonis perempuan itu sebagai “Perempuan Penipu” meskipun memang kategori penipuan masuk dalam perbuatan ibu berkerudung dengan empat anak itu.
Saya siap dikatakan lelaki lemah. Saya persilahkan orang lain mengatakan saya payah. Saya bersedia dikatakan tidak melindungi orang lain yang berpotensi akan terkena aksi perempuan ini berikutnya. Mengapa? Ya, saya akhirnya bersama para mahasiswa tidak membawa perempuan yang berbuat tak baik ini ke polisi seperti rencana awal. Meski ada beberapa saran dari kawan-kawan lain agar pelaku mendapat efek jera dengan dibawa ke polisi, pilihan ini tidak kami ambil.
Efek jera? Saya tidak mendalami apa itu efek jera dari sisi hukum. Saya punya beberapa pengalaman tentang memberi efek jera. Memberi efek era tak selalu dengan hukum tertulis dan membawa ke petugas penegak disiplin dan keamanan. Saya berinteraksi dengan dunia pendidikan orang dewasa yang menekankan pentingnya menyadari kesalahan, merasa malu berbuat tidak baik dan memberi kesempatan berubah sendiri. Saya mencoba menawarkan solusi “bertobat” dari hati terdalam.
Saya ingin mengacuhkan solusi “represif” meski bayangan ketidakpercayaan dari pengakuan perempuan itu tak bisa dielakkan. Namun saya tidak mau dibayang-bayangi keragu-raguan dan mencoba berharap bahwa satu atau dua kalimat yang terlontar dari perempuan yang telah membuat banyak orang merasa tertipu ini ada yang benar. Dan bila saya mengacuhkan satu kalimat atau bahkan satu kata yang seandainya itu benar dari perempuan itu, saya benar-benar merasa berbuat zhalim. Kezhaliman akibat ego dan keangkuhan saya rasanya rasa lebih berat daripada perbuatan perempuan yang telah membohongi banyak orang ini.
Akhirnya, perjanjian di atas kertas adalah hasil maksimal dari kesepakatan para korban yang hadir malam itu. Perempuan yang membohongi para mahasiswa itu tetap diminta membuktikan ucapannya untuk mengembalikan uang yang awalnya dia pinjam dalam bentuk perjanjian berjangka waktu. Kita meminta perempuan itu membuktikan kebenaran pengakuannya tentang keluarganya yang harus dihadirkan pula sesuai waktu yang disepakati.
Entahlah. Saya tak punya kekuatan mengancam-ancam perempuan ini untuk digadang-gadang ke polisi. Padahal sebenarnya, dia sudah membuat kesal dan sedih para korbannya. Saya hanya tidak ingin menggunakan kuasa yang tidak pada tempatnya. Saya bukan hakim. Saya bukan polisi. Saya bukan pengacara. Jadi mengapa saya harus rumit mengikuti arus hukum di negeri ini yang saya merasa masih jauh dari rasa dkeadilan. Saya masih yakin, setiap manusia punya nurani dan belas kasih pada sesama.
“Perempuan penipu” itu seolah menguji kesabaran dan menantang saya menggunakan akal sehat, meski dengannya akanaada orang yang akan mencemooh saya nantinya. Apalah artinya saya mengikuti arus yang saya tidak bahagia mengarunginya. Saya merasa menjadi bahagia karena mengikuti arus hati nurani dan akal sehat saya, sebagai lelaki, sebagai suami dan sebagai seorang ayah. Sama seperti perempuan itu yang mengaku sebagai seorang istri dan seorang ibu dari empat anak yangs sedang mengalami masalah keluarga. Perempuan itu memang tergelincir pada perbuatan tak patut, dan saya dan teman-teman mahasiswa punya niat membantunya.
Sesakit apapun awalnya merasa ditipu, namun memberi kesempatan menyadari kesalahan, tidak mengulangi perbuatan serta berkomitmen menebus kesalahan, apakah itu buruk sebagai sebuah solusi?
Entahlah, kawan. Ini hanyalah curahan hati saya membantu menghangatkan nurani yang terasa membeku. Mencoba merenungi bahwa Tuhan memberi tantangan pada saya yang sejak sepekan ini rutin membaca ilmu tentang Sabar dari sebuah kitab klasik bernama Riyadlus Shalihin.
Terima kasih Tuhan, telah mempertemukan dengan kasus yang menguji kesabaran saya. Semoga perempuan itu bisa mendapat hidayah dari-Nya dan keluar dari kesulitan yang membelit dia dan keluarganya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H