Entahlah. Saya tak punya kekuatan mengancam-ancam perempuan ini untuk digadang-gadang ke polisi. Padahal sebenarnya, dia sudah membuat kesal dan sedih para korbannya. Saya hanya tidak ingin menggunakan kuasa yang tidak pada tempatnya. Saya bukan hakim. Saya bukan polisi. Saya bukan pengacara. Jadi mengapa saya harus rumit mengikuti arus hukum di negeri ini yang saya merasa masih jauh dari rasa dkeadilan. Saya masih yakin, setiap manusia punya nurani dan belas kasih pada sesama.
“Perempuan penipu” itu seolah menguji kesabaran dan menantang saya menggunakan akal sehat, meski dengannya akanaada orang yang akan mencemooh saya nantinya. Apalah artinya saya mengikuti arus yang saya tidak bahagia mengarunginya. Saya merasa menjadi bahagia karena mengikuti arus hati nurani dan akal sehat saya, sebagai lelaki, sebagai suami dan sebagai seorang ayah. Sama seperti perempuan itu yang mengaku sebagai seorang istri dan seorang ibu dari empat anak yangs sedang mengalami masalah keluarga. Perempuan itu memang tergelincir pada perbuatan tak patut, dan saya dan teman-teman mahasiswa punya niat membantunya.
Sesakit apapun awalnya merasa ditipu, namun memberi kesempatan menyadari kesalahan, tidak mengulangi perbuatan serta berkomitmen menebus kesalahan, apakah itu buruk sebagai sebuah solusi?
Entahlah, kawan. Ini hanyalah curahan hati saya membantu menghangatkan nurani yang terasa membeku. Mencoba merenungi bahwa Tuhan memberi tantangan pada saya yang sejak sepekan ini rutin membaca ilmu tentang Sabar dari sebuah kitab klasik bernama Riyadlus Shalihin.
Terima kasih Tuhan, telah mempertemukan dengan kasus yang menguji kesabaran saya. Semoga perempuan itu bisa mendapat hidayah dari-Nya dan keluar dari kesulitan yang membelit dia dan keluarganya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H