Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sketsa Warga Kapuas (1): Rumah Tergenang, Mancing Yuk!

12 April 2012   16:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:41 1318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_174254" align="aligncenter" width="448" caption="Warga Kuala Kapuas memancing di halaman rumahnya (dok. pribadi)"][/caption]

Apa yang terbayang di benak Anda saat hidup di pemukiman dengan kondisi rawa pasang surut? Semua membayangkan rumah-rumah papan berpanggung dengan air tergenang di sekelilingnya. Anggapan ini ada benarnya, karena rawa pasang surut banyak kita jumpai di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya di Kaupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Salah satu kecamatan yang awalnya merupakan daerah rawa pasang surut sungai di Kabupaten Kapuas adalah Kecamatan Selat. Kecamatan ini berada di ibu kota Kabupaten Kapuas yaitu Kuala Kapuas dengan ketinggian hanya 20 mdpl (meter dari permukaan laut). Menurut warga Kuala Kapuas, dulunya Selat Kapuas adalah wilayah berair karena pengaruh pasang surut dari Sungai Kapuas, salah satu sungai terbesar di Kalimantan. Disebabkan kebutuhan pemukiman dan pengembangan wilayah, daerah rawa di Selat kemudian ditimbun dan dibangunlah pemukiman dan infrastuktur lainnya. Kini pengembangan Kabupaten Kapuas banyak dialihkan ke kecamatan Selat.

[caption id="attachment_174255" align="aligncenter" width="448" caption="Rumah panggung yang tergenang saat musim pasang di Kuala Kapuas (dok. pribadi)"]

13342459561738555046
13342459561738555046
[/caption]

Hal yang unik adalah bagaimana masyarakat bisa beradaptasi dengan kondisi pasang surut. Saat ini (12/4) di Kapuas sedang memasuki akhir musim hujan. Musim hujan adalah masa masyarakat menikmati genangan air di halaman rumah mereka. Genangan sangat disyukuri oleh warga Kapuas karena inilah saat yang tepat untuk menanam padi. Di sawah yang tergenang mereka mendapat rezeki lain berupa limpahan ikan yang masuk dari sungai. Sebagian warga juga memanfaatkan Kangkung Air yang tumbuh liar untuk dipanen dan dijual ke pasar.

Kondisi bagaimana warga Kapuas memanfaatkan genagan air, saya alami di tempat saya menginap. Saya menempati rumah panggung yang dikelilingi air di samping, di bawah dan di belakang rumah. Rumah ini memang kurang terawati sehingga halaman belakangnya penuh dengan tumbuhanir seperti Enceng Gondok, Kangkung Air dan Talas Air.

[caption id="attachment_174257" align="aligncenter" width="448" caption="Tumbuhan air liat; Kangkung Air, Enceng Gondok dan Tales Air (dok. pribadi)"]

13342463071842728203
13342463071842728203
[/caption]

Saya terkaget ketika salah satu pengelola rumah yang saya tempati pergi ke belakang sambil membawa pancing. Mau mincing atau mau naruh pancing di belakang rumah. Ternyata orang yang tahu bernama Pak Amin, sedang membawa pancing lengkap dengan umpannya untuk memancing ikan.

Memang ada ikannya, Pak Amin? Saya memilai pembicaraan. “Banyak, Pak.” “Ikan apa saja?” “Ada, Papuyu, Haruwan (Gabus), dan Sepat” “Umpannya apa, Pak?” “Itu di dalam sana.” Pak Amin menunjuk tabung bamboo berdiameter 5 cm. Saya lihat isinya “Wah, ulat Pak.” Saya sedikit terkaget.

[caption id="attachment_174256" align="aligncenter" width="448" caption="Ulat kayu sebagai umpan memancing ikan (dok. pribadi)"]

1334246229193769944
1334246229193769944
[/caption]

Pak Amin makin asyik dengan pancingnya. Untuk memperluas geraknya, Pak Amin membabat sebagian semak-semak untuk menempatkan pancingnya di beberapa tempat. Bahkan ada pancing yang ditaruh di jendela karena tepat dibawahnya adalah parit dengan ikan yang berseliweran.

“Nah, ini dia, Pak ikannya.” Dua ekor ikan sudah masuk ke ember hitam berisi air. “Ikan apa ini, Pak” “Ini Ikan Papuyu.”

[caption id="attachment_174258" align="aligncenter" width="448" caption="Ikan Papuyu hasil pancingan di halaman rumah (dok. pribadi)"]

13342466181080843837
13342466181080843837
[/caption]

Saya memengangi ikan seukuran panjang telapak tangan saya dan lebar sekitar 5 cm. Lumayan.

“Wah…ini yang lumayan, Pak” Pak Amin mengagtkan saya. Saya lebih kaget lagi melihat Pak Amin sudah memegang Ikan sepanjang kurang lebih 30 cm dengan lebar 5 cm.

“Ini Gabus kan, Pak” saya menebak ikan cukup besar ini.

“Ya, disini dinamakan Haruwan. Ini satu kilonya Rp. 20.000,-. Kalau Papuyu sekilonya Rp. 30.000,-“

[caption id="attachment_174259" align="aligncenter" width="336" caption="Ikan Gabus (Haruwan) hasil pancingan di halaman rumah (dok. pribadi)"]

1334246705643570788
1334246705643570788
[/caption]

Saya langsung mengabadikan momen yang unik ini. Saya merasa beruntung sekali. Baru hari pertama di Kuala Kapuas sudah mendapat obyek liputan yang menarik dan unik. Saya jadi bersemangat untuk meneruskan kegiatan saya selama sebulan disini. Saya merasakan bahwa Tuhan sedang menghibur saya karena saya harus menjalani penelitian tentang kebakaran hutan dan lahan disini sendirian selama sebulan ke depan.

Saya menemukan sebuah kearifan hidup masyarakat di Kuala Kapuas menghadapi kondisi alam. Perubahan iklim yang terjadi saat ini tidak membuat masyarakat di Kuala Kapuas mengeluhkannya. Di Kuala Kapuas Kalteng, masyarakat yang hidup di kawasan genangan air karena pasang surut dari Sungai Kapuas sangat "menikmati" kehidupan mereka. Mereka sudah beradaptasi dan memanfaatkan genangan air untuk budidaya tanaman air seperti kangkung air dan juga menangkap ikan. Mereka tak mengeluhkan kondisi alam, sebaliknya mereka justru mensyukurinya.

Salam lestari!

*Catatan Perjalanan Penelitian di Kabupaten Kapuas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun